Wukuf di Arafah jadi momen penuh haru bagi jemaah asal Kalbar. Doa untuk orang tua, jodoh, dan pekerjaan mengalir dari hati yang rindu pada kasih Ilahi.
Arafah, 9 Zulhijah 1446 H (4 Juni 2025) – Suasana tenda-tenda putih di Arafah dipenuhi tangis haru dan doa-doa penuh pengharapan. Di tengah jutaan umat Islam dari berbagai penjuru dunia, para jemaah haji asal Kalimantan Barat (Kalbar) menumpahkan harapan hidup mereka kepada Allah SWT pada puncak haji: wukuf di Arafah.
Salah satu jemaah, Setiawan (27), tak kuasa menyembunyikan rasa syukurnya. Ia adalah warga Kubu Raya yang baru pertama kali menjejakkan kaki di Tanah Suci. Bagi Setiawan, keberangkatan ini bukan sekadar perjalanan spiritual, tapi juga jalan pulang untuk menyapa harapan-harapan yang selama ini tersimpan di lubuk hatinya.
“Doa-doa yang udah kita siapkan untuk besok. Ya kebetulan saya masih single, jadi saya minta segera untuk nikah,” ujarnya lirih, seraya menatap padang Arafah yang hening dan sakral.
Namun, di balik doanya yang sederhana tentang jodoh, tersimpan kepedihan mendalam. Setiawan telah kehilangan kedua orang tuanya.
“Doa untuk orang tua, sudah yatim soalnya. Minta juga kerja yang lebih baik,” katanya. Kata-kata itu terucap dengan mata berkaca-kaca, menggetarkan hati siapa pun yang mendengarnya.
Bagi jemaah lain asal Kalbar, Mirah Sukoco, wukuf bukan sekadar ritual, melainkan nikmat tak terkira dari Allah SWT.
“Alhamdulillah ini nikmat Allah. Bersyukur kepada Allah. Alhamdulillah terlayani dengan baik, insya Allah,” tutur Mirah dengan nada penuh syukur.
Sementara itu, Abdurahman, jemaah asal Kalbar lainnya, menyampaikan kesan mendalam atas pelayanan yang ia dan ibunya terima. Bersama sang ibunda yang telah lanjut usia, ia menunggu selama 12 tahun untuk bisa berangkat haji.
“Luar biasa fasilitasnya. Makannya, tendanya, saya sangat berterima kasih, khususnya kepada Kemenag dan bapak Nasaruddin Umar yang telah memberikan yang terbaik,” ucapnya penuh penghargaan.
Abdurahman tidak membawa daftar doa panjang. Hatinya hanya menginginkan satu hal: kebahagiaan dunia dan akhirat.
“Doa mungkin nggak banyak. Kebahagiaan di dunia dan akhirat. Mudah-mudahan diijabah Allah,” katanya lembut.
Hari ini, 9 Zulhijah, wukuf dilaksanakan sejak tergelincir matahari hingga terbenam.
Setelah maghrib, para jemaah akan bergerak menuju Muzdalifah untuk mabit (bermalam), mengumpulkan kerikil untuk prosesi lempar jumrah.
Perjalanan ibadah ini akan berlanjut ke Mina, di mana para jemaah akan melempar jumrah selama hari-hari tasyrik: 11, 12, dan 13 Zulhijah. Setiap prosesi adalah simbol perjuangan spiritual, penyerahan total kepada Allah, dan penghapusan dosa.
Di padang Arafah, setiap air mata menjadi doa, setiap desah napas adalah harapan. Bagi jemaah asal Kalimantan Barat, haji bukan hanya ibadah fisik, tetapi juga perjalanan batin yang mempertemukan mereka dengan kerinduan terdalam – kepada orang tua, kepada masa depan, kepada Tuhan.
Semoga setiap doa yang terucap di Arafah menjadi kenyataan. Karena di sinilah, langit dan bumi bersaksi: Allah Maha Mendengar. (afifun nidlom)
