Pertempuran arek-arek Suroboyo melawan pasukan Sekutu pada 10 November 1945 diyakini sebagai perang terbesar di Tanah Air pasca Indonesia Merdeka. Meski bersifat lokal, pertempuran itu membuka mata dunia tentang eksistensi Indonesia.
“…Pada akhirnya pastilah kemenangan akan jatuh ke tangan kita, sebab Allah selalu berada di pihak yang benar. Percayalah, Saudara-saudara, Tuhan akan melindungi kita sekalian. Allahu Akbar! Allahu Akbar! Allahu Akbar! Merdeka!!!”
Inilah kalimat terakhir dalam pidato yang diucapkan tokoh pejuang Surabaya, Sutomo atau yang dikenal sebagai Bung Tomo. Pidato yang disiarkan dari Kantor Radio Perjuangan Surabaya (lokasinya di Jalan Mawar Surabaya) itu tidak hanya membuat bulu kuduk merinding, tetapi juga mampu membakar semangat arek-arek Suroboyo untuk berperang. Ribuan pejuang terhimpun dalam satu semangat, Merdeka atau Mati!
Seruan takbir dalam pidato Bung Tomo saat itu tidak sekedar ucapan biasa, tetapi dimaknai sebagai ucapan yang sangat dahsyat. Takbir itu mampu menjadikan yang lemah menjadi kuat, yang takut menjadi berani, dan mampu membangunkan “kaum rebahan” untuk bersama-sama berjuang. Seruan Bung Tomo juga menjadi salah satu perpaduan antara nilai nasionalisme dan religiusitas, sehingga menyatukan rakyat meski berlatar belakang beda.
Alhasil, takbir itu membawa semangat juang yang tinggi arek arek Suroboyo mewakili kelompok kebenaran melawan Sekutu pada pihak kezaliman. Melalui takbir, para pejuang sangat yakin bahwa Sekutu itu kecil, yang Maha Besar hanyalah Allah SWT. Senapan dan bayonet Sekutu tak memiliki kekuatan apa-apa, karena yang Maha Kuat hanyalah Allah SWT.
Salah seorang sejarawan Muhammadiyah, Teguh Imami, dalam blognya pernah menuliskan bahwa dalam arsip surat kabar Kedaulatan Rakyat pada salah satu edisinya di Bulan November 1945, terdapat berita bahwa Pengurus Besar Muhamamdiyah mendukung semangat juang kadernya untuk melawan penjajah menjelang peristiwa 10 November 1945. Berita itu menuliskan bahwa pada 20 Oktober 1945, Pengurus Besar Muhammadiyah mengeluarkan instruksi untuk Salat Hajad demi kemenangan kaum muslimin di Indonesia, khususnya di Surabaya dan Jawa Timur. Seluruh masjid, ranting, dan semua kadernya diinstruksikan melaksanakan Salat Hajad sesudah sholat jamaah Isya.
Sepuluh hari setelah seruan itu, atau tepatnya pada 30 Oktober 1945, pertempuran di Surabaya semakin panas. Dalam peristiwa di sekitar Jembatan Merah depan Gedung Internatio, Brigadir Jenderal Mallaby tewas. Hal inilah yang semakin membuat pasukan Sekutu marah dan mengancam akan membumihanguskan Surabaya. Sekali lagi, seruan takbir tak membuat arek-arek Suroboyo gentar.
Peristiwa 10 November 1945 adalah bertemunya dua kekuatan yang saling menyatu, yakni kekuatan naionalisme dan religiusitas. Berpadunya dua kekuatan ini menjadi suatu yang salit untuk ditaklukkan. Nasionalisme-religius semakin kuat saat menhadapi kekuatan luar yang menjadi musuh bersama.
Saat ini, dalam konteks suksesi kekuasaan di tanah air, nasionalisme-religius hampir menjadi isu yang digaungkan oleh calon-calon pejabat publik. Nasionalisme-religius pada satu komunitas politik, akan menjadi kekuatan yang memiliki daya tawar tinggi terhadap komunitas lainnya. Isu nasionalisme-religus digunakan untuk meraup suara pemilih dari para nasionalis dan para agamawan.
Bung Tomo tanpa rasa pamrih membakar semangat nasionalisme para pejuang untuk melawan penjajah, menggunakan kekuatan takbir sebagai simbol religiusitas. Ia telah membuktikan bahwa dalam sejarah hidupnya menjadi manusia yang cinta bangsa dan negara, sekaligus sebagai hamba dalam ketaatan pada Allah SWT.
Sebaliknya, banyak orang yang mengklaim dirinya sebagai nasionalis-religius, padahal belum pernah membuktikan apa yang telah dikerjakan untuk bangsa, negara dan agama. Tentu saja klaim itu dilakukan pada waktu tertentu dan tujuan tertentu. Menjelang suksesi kekuasaan dan bertujuan untuk mendapatkan suara rakyat. (*)
