Politik kerap dianggap terpisah dari nilai-nilai Islam, padahal ia mengatur hampir seluruh aspek kehidupan umat. Sejak wafatnya Rasulullah saw, politik telah menjadi bagian tak terpisahkan dari sejarah Islam, menentukan arah kepemimpinan dan perjalanan umat.
Hal itu disampaikan KH. Ridwan Abubakar dalam Tausiyah Ramadan di Masjid Al Badar, Surabaya, Kamis (20/3/2025) malam. “Islam tidak hanya berbicara tentang ibadah dan akhlak, tetapi juga tentang kepemimpinan dan tata kelola masyarakat,” ujar dia.
Ketua Divisi Kemasjidan Majelis Tablig Pimpinan Wilayah Muhammadiyah (PWM) Jawa Timur itu menyoroti pentingnya politik dalam Islam, sebuah aspek yang menurutnya sering kali kurang mendapat perhatian dibandingkan dengan aspek lain seperti fikih, tasawuf, dan filsafat.
Kiai Ridwan mengungkapkan bahwa dalam dunia keilmuan Islam, banyak pembahasan mendalam tentang fikih, tasawuf, dan filsafat. Namun, pembahasan mengenai politik dan sejarah sering kali dianggap kurang penting atau bahkan diabaikan. Padahal, menurut beliau, politik memiliki peran yang sangat krusial dalam kehidupan umat Islam.
“Segala sesuatu dalam kehidupan bermasyarakat diatur oleh politik. Keputusan politik menentukan bagaimana masyarakat hidup dan berkembang,” ujar Kiai Ridwan.
Dia juga menekankan bahwa Rasulullah saw tidak hanya membawa ajaran agama, tetapi juga memberikan panduan dalam aspek sosial, ekonomi, dan politik. Dalam sejarah Islam, politik memiliki peran vital dalam pembentukan pemerintahan dan tata kelola masyarakat Muslim.
Kiai Ridwan kemudian menyoroti peristiwa penting dalam sejarah Islam, yaitu saat wafatnya Rasulullah saw. Menurutnya, begitu pentingnya kepemimpinan dalam Islam terlihat dari fakta bahwa setelah Rasulullah wafat, para sahabat segera membahas siapa yang akan menjadi pemimpin selanjutnya.
“Bahkan, jenazah Rasulullah baru dimakamkan tiga hari setelah wafatnya karena para sahabat lebih dahulu mendiskusikan masalah kepemimpinan,” ungkap dia.
Dalam peristiwa di Saqifah Bani Sa’idah, kaum Anshar berkumpul dan mengusulkan bahwa pemimpin umat Islam seharusnya berasal dari golongan mereka. Namun, Abu Bakar ra menegaskan bahwa pemimpin harus dari suku Quraisy, sebagaimana tradisi kepemimpinan pada masa itu.
Umar bin Khattab ra kemudian memberikan baiat kepada Abu Bakar ra sebagai khalifah pertama, yang kemudian diikuti oleh mayoritas umat Islam.
Meski demikian, Kiai Ridwan mengingatkan bahwa tidak semua pihak menerima keputusan tersebut.
“Sebagian dari Ahlul Bait, termasuk Ali bin Abi Thalib RA dan istrinya, Fatimah Az-Zahra RA, sempat tidak menyetujui pengangkatan Abu Bakar sebagai khalifah. Perbedaan pandangan ini menunjukkan dinamika politik yang telah ada sejak awal sejarah Islam,” katanya.
Kiai Ridwan juga menepis anggapan bahwa Islam tidak mengenal demokrasi. Menurutnya, proses pemilihan pemimpin pada masa Khulafaur Rasyidin telah menunjukkan prinsip-prinsip musyawarah dan demokrasi.
“Kalau ada yang mengatakan bahwa Islam tidak mengenal demokrasi, berarti dia belum memahami sejarah politik Islam secara mendalam,” tegasnya.
Kiai Ridwan mencontohkan bagaimana pengangkatan Abu Bakar ra, Umar bin Khattab ra, hingga Utsman bin Affan ra, semuanya melalui proses musyawarah yang melibatkan umat Islam pada masanya.
Bahkan, imbuh dia, pemilihan Umar bin Khattab ra sebagai khalifah kedua dilakukan melalui wasiat Abu Bakar ra. Sedangkan pengangkatan Utsman bin Affan ra dilakukan melalui pemilihan oleh dewan musyawarah (syura) yang terdiri dari enam sahabat utama Rasulullah saw.
Namun, KH. Ridwan juga mengingatkan bahwa dalam sejarah politik Islam klasik, banyak terjadi pertumpahan darah akibat perebutan kekuasaan. Dia menyebut bahwa kurangnya pemahaman politik yang mendalam dalam Islam menjadi salah satu faktor utama yang menyebabkan konflik-konflik ini.
Kiai Ridwan menegaskan, pemahaman politik dalam Islam tetap relevan di era modern. Menurutnya, umat Islam perlu memahami bagaimana Islam mengatur kepemimpinan dan politik agar tidak terjebak dalam konflik yang merugikan umat sendiri.
“Kalau kita melihat sejarah, banyak konflik dalam politik Islam yang seharusnya bisa dihindari jika ada pemahaman yang baik tentang prinsip-prinsip kepemimpinan dalam Islam,” ujarnya.
Kiai Ridwan juga mengajak umat Islam untuk tidak menjauhi politik, tetapi justru aktif dalam dunia politik dengan menjunjung tinggi nilai-nilai Islam, seperti keadilan, musyawarah, dan kepemimpinan yang amanah.
“Jangan sampai kita hanya menjadi penonton dalam perpolitikan, sementara keputusan-keputusan penting dalam kehidupan kita ditentukan oleh orang lain,” tandasnya.
Melalui tausiyah ini, Kiai Ridwan mengajak jamaah untuk lebih mendalami aspek politik dalam Islam. “Politik adalah bagian dari ajaran Islam yang harus dipahami dan diterapkan dengan bijak dalam kehidupan bermasyarakat,” katanya.
Dengan memahami politik dalam Islam, terang dia, umat Islam diharapkan dapat berperan aktif dalam membangun masyarakat yang lebih baik, serta menghindari konflik-konflik yang tidak perlu dalam kehidupan politik. (wh)