Wukuf di Arafah merupakan salah satu bagian penting dalam ibadah haji yang selalu dinantikan, bahkan dirindukan oleh jemaah haji dari berbagai penjuru dunia.
Karena itu, wukuf di Arafah menjadi momentum bersejarah sejak zaman Nabi Ibrahim hingga risalah kenabian yang dilanjutkan oleh Rasulullah Muhammad saw.
Ketika jemaah haji melakukan wukuf di Arafah, mereka diingatkan untuk kembali mengenali jati diri, dari mana asal manusia dan ke mana manusia akan kembali—yakni kepada Sang Khalik.
Itulah sebabnya, seluruh umat manusia seharusnya menyadari pentingnya mentransformasikan nilai-nilai kemanusiaan yang diperintahkan oleh Allah SWT dalam Al-Qur’an.
Hal tersebut tertulis dalam Surah Ali Imran ayat 97:
فِيْهِ اٰيٰتٌۢ بَيِّنٰتٌ مَّقَامُ اِبْرٰهِيْمَ ۗ وَمَنْ دَخَلَهٗ كَانَ اٰمِنًا ۗ وَلِلّٰهِ عَلَى النَّاسِ حِجُّ الْبَيْتِ مَنِ اسْتَطَاعَ اِلَيْهِ سَبِيْلًا ۗ وَمَنْ كَفَرَ فَاِنَّ اللّٰهَ غَنِيٌّ عَنِ الْعٰلَمِيْنَ
“Di dalamnya terdapat tanda-tanda yang jelas (di antaranya) Maqam Ibrahim. Siapa yang memasukinya (Baitullah), maka amanlah dia. (Di antara) kewajiban manusia terhadap Allah adalah melaksanakan ibadah haji ke Baitullah, yaitu bagi orang yang mampu mengadakan perjalanan ke sana. Siapa yang mengingkari (kewajiban haji), maka sesungguhnya Allah Maha Kaya (tidak memerlukan sesuatu pun) dari seluruh alam.”
(QS. Ali Imran: 97)
Bahkan, bagian penting dari ibadah haji adalah melaksanakan perintah Allah, karena:
Pertama, melakukan wukuf di Arafah, berdiam diri untuk mendekatkan diri kepada Allah;
Kedua, bagi umat Islam yang tidak berada di Arafah, melaksanakan puasa Arafah;
Ketiga, Hari Raya Iduladha merupakan momen yang sangat dinanti oleh umat Islam di berbagai belahan dunia untuk menyembelih hewan kurban yang diperuntukkan bagi fakir miskin sebagai bentuk tanggung jawab sosial (mas’uliyah ijtima’iyah).
Antara Arafah dan Mina
Menurut Al-Malki, dalam sebuah pameran tentang sejarah Arafah, dijelaskan bahwa tempat ini mendapatkan namanya dari peristiwa pertemuan antara Nabi Adam dan Hawa.
Dalam bahasa Arab, kata ‘arafa’ berarti “tahu”. Hal ini menekankan pentingnya bagi jemaah haji, umrah, serta masyarakat awam untuk mengetahui sejarah tempat-tempat tersebut.
Arafah bukan hanya pusat peradaban Arab, tetapi juga simbol manusia yang kembali kepada jati dirinya untuk menjalankan perintah Allah dengan penuh keikhlasan demi meraih ridha-Nya dan surga.
Adapun “Mina” berasal dari kata Al-Munā, jamak dari Umniyyah, yang berarti “keinginan”. Diriwayatkan bahwa ketika Malaikat Jibril akan meninggalkan Nabi Adam, ia memintanya untuk mengajukan permintaan (umniyyah), dan Nabi Adam menginginkan surga.
Ada juga narasi lain yang menjelaskan makna berbeda. Al-Malki menerangkan bahwa sekitar 70 nabi telah melewati lembah Mina—sebuah lembah yang terletak di antara dua gunung, yaitu Gunung Thabir dan Al-Sabeh—dengan mengenakan pakaian wol putih.
Dalam catatan sejarah, juga ditampilkan kisah Nabi Ibrahim dengan setan. Kisah ini menceritakan tentang upaya setan menggoda Nabi Ibrahim agar tidak menaati perintah Allah untuk menyembelih putranya, Ismail.
Namun, Nabi Ibrahim menghadapi ujian tersebut dengan sabar dan istikamah dalam menjalankan perintah Allah. Kisah ini mengandung pelajaran penting bagi peradaban manusia yang ingin kembali kepada jati dirinya.
Sebagaimana dikatakan oleh Prof. Ali Yafie (mantan Ketua Umum MUI), kita harus tahu diri, tahu menempatkan diri, dan sadar diri.
Ungkapan ini sangat relevan ketika seseorang akan dan sedang melaksanakan wukuf di Arafah pada hari kesembilan bulan Zulhijah—puncak dari penyelenggaraan ibadah haji—sebagai wujud ketaatan kepada Allah SWT.
Simbol pelemparan jumrah di Mina juga memiliki makna mendalam. Mina adalah sebuah lembah di padang pasir yang terletak sekitar 5 kilometer sebelah timur Kota Makkah, Arab Saudi, antara Makkah dan Muzdalifah.
Mina dikenal sebagai “Kota Tenda”, karena berisi tenda-tenda permanen untuk jutaan jemaah haji dari seluruh dunia, yang tetap berdiri meskipun musim haji telah berakhir.
Mina paling dikenal sebagai tempat pelaksanaan lempar jumrah, yakni simbol perlawanan terhadap godaan setan sebagai bentuk perlawanan terhadap hawa nafsu dalam diri manusia. (*)
