Dalam seminggu terakhir, jagad maya diributkan tentang hilangnya sebuah tumbler milik seorang penumpang KRL bernama Anita Dewi. Bukan kehilangan tumbler yang jadi bahasan utama, tetapi dampak dari hilangnya botol air yang diunggah di media sosial itulah yang menjadi sorotan. Satpam dipecat (tetapi kemudian disanggah) dari perusahaan kereta api, dan si pengunggah kabarnya juga diberhentikan dari perusahaan dimana ia bekerja.
Ternyata kasus kehilangan tumbler lebih menyita perhatian ketimbang kasus kehilangan motor, mobil, atau kehilangan perhiasan. Padahal kalau dari sisi harga, tumbler yang hilang tersebut tidak lebih dari Rp300 ribu.
Tumbler muncul sebagai botol minum yang dapat digunakan kembali telah menjadi bagian dari kampanye sadar lingkungan, simbol penolakan terhadap penggunaan botol plastik sekali pakai. Tetapi ironisnya, pemilik tumbler pun tetap beli minuman kemasan plastik, kemudian dimasukkan ke tumbler. Artinya, sampai plastik tetap marak.
Penggunaan tumbler yang terbuat dari baja tahan karat (stainless steel) atau aluminium, didorong oleh durabilitas (daya tahan) dan keamanannya dibandingkan plastik. Tumbler logam menjanjikan pengurangan sampah plastik dalam jangka panjang. Namun, ketika botol ini mencapai akhir masa pakainya, tumbler logam yang dibuang pun berpotensi mencemari lingkungan.
Jadi, jika perilaku pengguna tumbler tidak mencerminkan cinta lingkungan, maka sampah plastik volumenya tetap besar, ditambah ada produk baru pencemaran lingkungan dari sampah tumbler yang terbuat dari logam. Kedisiplinan pengguna tumbler jadi kunci apakah lingkungan semakin tercemar atau tidak. Jangan sampai ada sampah generasi baru yang bersembunyi di balik citra ramah lingkungan.
Jadi Simbol Status Sosial
Disadari atau tidak, tumbler yang sebelumnya hanya sebagai botol air minum, kini berubah menjadi salah satu simbol dari status sosial. Harga tumbler yang mahal dan bermerek, membuat bangga para penggunanya. Hal ini seperti halnya handphone, jam tangan, dan teknologi digital lainnya yang dapat membuat prestise penggunannya. Semakin mahal harga tumbler yang dibeli, semakin meningkatkan derajat sosial penggunanya.
Lihat saja beberapa contoh tumbler bermerak, harga yang selangit. Merek Corkcicle, misalnya, harganya dalam kisaran Rp500.000 hingga Rp 1.200.000 tergantung desain dan kapasitasnya. Merek ini menjanjikan mampu menjaga suhu air tetap terjaga hingga 20 jam.
Ada juga tumbler merek Owala, yang menjadi favorit banyak orang karena desain dan warnanya sangat kekinian. Tumbler ini juga dilengkapi dengan sedotan kaca yang bisa dilepas-pasang. Tumbler Owala dijual dengan harga Rp529.000 sampai Rp 729.000.
Tumbler merek Stanley dinilai sebagai tumbler yang juga banyak peminatnya. Tumbler merek ini dijual Rp369.000 sampai Rp1.050.000. Merek ini juga menyediakan sedotan yang dijual terpisah dengan harga Rp250.000/paket berisi 4 sedotan, dan tas tumbler dengan harga Rp700.000.
Selanjutnya ada tumbler merek Hydro Flask, yang dibanderol dengan harga Rp469.000 hingga Rp1.099.000. Merek ini juga menyediakan tutup botol hingga pelindung bawah botol seharga Rp120 ribuan, dijual terpisah.
Dengan demikian, orang membawa tumbler bukan sekedar untuk tempat minum, tetapi juga sebagai prestise, dan gaya hidup. Bagaimana dengan perlindungan lingkungan? Mungkin hanya sedikit di antara mereka. (*)
