Dalam setiap kasus korupsi pasti ada motif keuntungan pribadi. Dalam kasus ini motif itu tidak pernah terbukti. (Sunoto)
Dalam setiap persidangan, hakim selalu disebut sebagai “Yang Mulia.” Itu menunjukkan bahwa posisi hakim dalam menghakimi suatu perkara diposisikan sebagai orang yang sangat mulia, pengadil yang adil, bahkan banyak dinarasikan sebagai Wakil Tuhan yang ada di bumi. Sungguh, suatu posisi yang sangat amat terhormat.
Hakim sebagai Wakil Tuhan di bumi bermula pada masa Kerajaan Eropa zaman dahulu yang masih berlaku monarki absolut. Saat itu, raja adalah Wakil Tuhan di bumi. Tidak ada satupun dapat mengambil takhta raja tersebut, termasuk raja itu sendiri.
Demikin juga pada masa kekhalifahan, dimana seorang khalifah berperan sebagai penentu (pemutus) suatu kasus di dalam wilayah kekuasaannya. Namun karena terlalu banyak kasus dan luasnya kerajaan, maka raja memberikan mandat kepada orang-orang tertentu untuk mengerjakan pekerjaanya mengadili perkara. Orang-orang inilah yang disebut sebagai hakim, sehingga hakim adalah wakil raja yang juga berarti Wakil Tuhan.
Tetapi saat Revolusi Prancis berlangsung, raja dan keluarganya dihukum oleh rakyatnya sendiri, karena melakukan banyak kesalahan. Dari peristiwa tersebut akhirnya muncul menafsirkan bahwa apa yang dilakukan rakyat adalah kehendak Tuhan, dan mulai ada slogan “suara rakyat adalah suara Tuhan” atau Vox Populi Vox Dei.
Dalam konteks hukum di Indonesia, hakim adalah salah satu perangkat hukum yang mengadili para tersangka. Pada kasus yang dinilai memiliki tingkat permasalahan yang besar, bukan hanya satu hakim, tetapi juga diadili oleh hakim ketua dan hakim anggota. Jumlahnya bisa 3 hakim, satu hakim ketua dan 2 hakim anggota.
Demikian juga dalam persidangan kasus yang menimpa Ira Puspadewi, Pengadilan Tipikor Jakarta menugaskan 3 orang hakim, Sunoto sebagai hakim ketua, sedangkan Mardiantos dan Nur Sari Baktiana sebagai hakim anggota. Hakim Sunoto memiliki dissenting opinion (pendapat berbeda) yang cenderung menyatakan bahwa Ira Puspadewi sedah seharusnya lepas hukuman. Tetapi dua hakim anggota menyatakan bersalah. Sunoto kalah suara. Tiga Wakil Tuhan di bumi beda pendapat, dan akhirnya vonis pun dijatuhkan.
Sunoto memiliki dissenting opinion karena ada keraguan dalam benaknya terkait kasus yang menimpa Ira Puspadewi. Keraguan pertama adalah tentang niat jahat atau mens rea, karena Ira dan dua terdakwa lainnya sama sekali tidak mendapat keuntungan pribadi, tidak ada benturan kepentingan, tidak ada motif ekonomi yang jelas, dan hasil bisnis yang dilakukan PT ASDP justru menunjukkan pencapaian positif. Keraguan kedua, sampai dengan vonis, belum ada bukti nyata tentang kerugian negara. Dan yang ketiga, suatu keputusan bisnis tidak bisa serta merta dimaknai sebagai tindak pidana korupsi.
Dissenting opinion yang diungkapkan Sunoto seharusnya membuka tabir bahwa Ira layak lepas dari hukum. Berikut kutipan beberapa poin pendapat lain Sunoto dalam persidangan kasus Ira:
- Tidak adanya motif ekonomi dalam perkara Ira sebagai indikator kuat bahwa kasus ini bukan tindak pidana korupsi.
- Dalam proses akuisisi PT Jembatan Nusantara, semua pertemuan dilakukan secara formal dan terdokumentasi. Kerja sama Usaha (KSU) itu melibatkan direksi, komisaris hingga Menteri BUMN.
- Tidak masuk akal ada orang ingin merugikan negara triliunan rupiah tanpa mengambil keuntungan apapun.
- Dalam setiap kasus korupsi pasti ada motif keuntungan pribadi. Dalam kasus ini motif itu tidak pernah terbukti.
- Uji tuntas proses akuisisi PT JN oleh PT ASDP adalah yang terlengkap dalam sejarah BUMN. Tidak ada uji tuntas semahal dan selengkap ini.
- Jika setiap keputusan bisnis yang tidak optimal, dipidana, direksi akan takut mengambil risiko. Itu berbahaya untuk pertumbuhan BUMN.
- Dalam hukum ada asas ”in dubio pro reo” Jika ada keragu-raguan (dubio) berpihaklah pada pihak yang dituduh (reo).
