Di era matinya kepakaran, seperti yang disampaikan oleh Tom Nichols dalam bukunya “The Death of Expertise”, Sekretaris Umum Pimpinan Pusat (PP) Muhammadiyah, Abdul Mu’ti minta Perguruan Tinggi Muhammadiyah-’Aisyiyah (PTMA) kuatkan diri sebagai pusat kedaulatan.
Menurut Guru Besar Pendidikan Islam ini, di era matinya kepakaran menyebabkan belajar dan berilmu tidak lagi penting. Sebab kebutuhan akan informasi tentang apapun dengan mudah didapatkan melalui gawai di genggaman tangan. Lebih-lebih saat ini didukung oleh Artificial Intelligent (AI).
“Matinya kepakaran dan berbagai temuan di berbagai bidang teknologi modern, AI, dan berbagai bentuk capaian-capaian yang algoritmis itu kadang-kadang orang merasa bahwa ilmu menjadi tidak penting, karena dalam beberapa hal teknologi telah mampu menggantikannya,” kata Mu’ti pada (23/12/2023) di UMSU, Medan.
Sosok otoritatif seperti guru besar sudah tidak lagi dijadikan sebagai sumber rujukan, mereka sudah tergantikan oleh ‘profesor google’. Tidak perlu lagi membuka buku-buku tebal, sudah digantikan wikipedia. Akan tetapi Mu’ti khawatir akan sumber rujukan dari google karena sering akurasinya lemah.
Menyikapi realitas hidup yang seperti itu, Abdul Mu’ti menyebutkan bahwa PTMA memiliki tugas untuk berdaulat dalam empat hal. Pertama, daulat dalam bidang ilmu. Kedua, kedaulatan bidang seni dan budaya. Ketiga, kedaulatan akhlak. Serta yang keempat adalah kedaulatan peradaban.
“Ini saya kira menjadi tantangan yang sangat besar sekarang ini, karena banyaknya kritik. Sekarang banyak orang yang pintar tapi keblinger (red; sesat). Sekarang banyak sekali orang yang menjadi intelektual, tetapi intelektual tukang,” ungkap Abdul Mu’ti.
Intelektual tukang, sambung Mu’ti, adalah intelektual yang melakukan pekerjaan tidak sesuai proporsinya. Dia mencontohkan dengan sosok intelektual yang melakukan survei untuk memenangkan pasangan calon tertentu, juga ada intelektual tukang yang mengerjakan suatu proyek gagal, karena ada anggarannya tetap dikerjakan.
“Karena itulah maka para profesor, para guru besar sejatinya adalah mereka yang menjadi pendekar, menjadi benteng ilmu, benteng seni dan budaya, benteng akhlak, dan benteng peradaban,” imbuh Mu’ti.
Abdul Mu’ti juga mewanti-wanti, supaya dalam dunia akademik untuk senantiasa menjunjung tinggi kejujuran. Sebab kejujuran adalah segala-galanya. Kejujuran ini harus menjadi prinsip bagi intelektual. Oleh karena, dia berharap guru besar menjadi agen pencerahan bagi masyarakat luas. (*/tim)
Untuk mendapatkan update cepat silakan berlangganan di Google News