*) Oleh: Imron Nur Annas, M.H.
Anggota Majelis Tabligh PDM Nganjuk, Pengajar di Ponpes. Ar-Raudlotul Ilmiyah Kertosono
Agama Islam mengajarkan kepada pemeluknya tentang moralitas. Dasar dan landasan yang kokoh adalah karena sangsi terhadap pelanggarannya bukan hanya terdapat di dunia, tapi juga di rasakan kelak di akhirat.
Sebagai umat Islam yang meyakini dirinya beriman kepada Allah dan Kanjeng Nabi Muhammad sebagai Rasulullah, memiliki kewajiban untuk mengangkat citra diri umat Islam dengan cara merepresentasikan keimanan dalam hati dan lisannya dalam amal perbuatan sehari-hari terwujud dalam amal saleh atau segala aktivitas yang baik dan terpuji.
Kalau iman itu diibaratkan matahari, maka amal saleh atau amal kebajikan merupakan sinarnya. Karena itu, matahari tidak bisa dicerai-pisahkan dengan sinarnya. Demikian juga iman seseorang harus menyatu dengan amal saleh atau aktivitas yang terpuji dan tidak bisa dicerai-pisahkan. Setelah orang memiliki iman dan amal saleh, maka akan meningkat derajatnya menjadi orang-orang yang bertakwa.
Agama Islam mampu memberikan kebutuhan rohaniah bagi pemeluknya dan pengamalannya sangat sesuai dengan adikodrati kemanusiaan. Hal seperti ini yang ditegaskan Allah dalam firman-Nya yang terdapat dalam Surat ar-Rum ayat 30:
فَاَقِمْ وَجْهَكَ لِلدِّيْنِ حَنِيْفًاۗ فِطْرَتَ اللّٰهِ الَّتِيْ فَطَرَ النَّاسَ عَلَيْهَاۗ لَا تَبْدِيْلَ لِخَلْقِ اللّٰهِۗ ذٰلِكَ الدِّيْنُ الْقَيِّمُۙ وَلٰكِنَّ اَكْثَرَ النَّاسِ لَا يَعْلَمُوْنَۙ
“Maka, hadapkanlah wajahmu dengan lurus kepada agama (Islam sesuai) fitrah (dari) Allah yang telah menciptakan manusia menurut (fitrah) itu. Tidak ada perubahan pada ciptaan Allah (tersebut). Itulah agama yang lurus, tetapi kebanyakan manusia tidak mengetahui.”
Dari ayat tersebut dapat dipahami beberapa aspek untuk mengangkat citra diri seorang muslim, yaitu:
Pertama, bahwa menampilkan ajaran agama Islam dalam segala aspek kehidupan (yang digambarkan dalam kata “وَجْهَكَ” sebagai representasi keutuhan kemanusiaan) merupakan kewajiban bagi setiap muslim.
Menghadapkan wajah dikhususkan penyebutannya karena merupakan tempat berkumpulnya semua pancaindra, dan bagian tubuh yang paling terhormat. Hal ini membuktikan bahwa setiap aktivitas dalam kehidupan seperti bergaul dengan sesama manusia memiliki orientasi untuk mengamalkan ajaran-ajaran agama hakikatnya mengabdikan diri kepada Allah.
Belajar dari kisah tentang akhlak mulia yang ditunjukkan Imam Hasan al-Bahsri terhadap tetangganya yang beragama Nasrani dalam kitâb al-Imtâ’ wa al-Mu’ânasah karangan Imam Abu Hayyan al-Tauhidi dan kisah pengemis buta yang selalu menghina Baginda Rasulullah.
Kisah pertama, Imam Hasan al-Bahsri memiliki seorang tetangga Nasrani yang rumahnya tepat berada di atas tempat tinggalnya. Di rumah Nasrani itu terdapat kamar mandi. Karena konstruksi bangunannya kurang kuat, lambat laun air merembes dari kamar kecil dan menetesi kediaman Imam Hasan al-Bahsri.
Tanpa memarahi, bahkan mengingatkan pun tidak, Imam Hasan al-Bahsri enggan mengatakan apapun kepada Nasrani. Imam Hasan al-Bahsri hanya meletakkan sebuah ember untuk menampung tetesan air yang tidak pernah berhenti. Setiap malam Imam Hasan al-Bahsri rutin membuang ember yang sudah penuh dengan air tetesan, lalu meletakkan embernya lagi. Hal itu dilakoninya selama dua puluh tahun.
Sekali waktu Imam Hasan al-Bahsri jatuh sakit. Tetangganya Nasrani menjenguk ke rumahnya. Tiba-tiba Ia dikejutkan dengan tetesan air yang sudah jelas berasal dari rumahnya. Dengan perasaan tidak enak dan penuh bersalah, Ia bertanya, “Wahai Abu Sa’id, sudah berapa lama engkau telah menanggung kesusahan dariku?”.
“Sudah dua puluh tahun,” jawab Hasan dengan nada tenang tanpa perasaan kesal sedikit pun. Seketika itu juga si tetangga Nasrani memotong ikat pinggangnya dan memeluk Islam.