Ketentuan Salat Saat Safar Dilakukan Berjamaah Bersama Imam Mukim
foto: thethinkingmuslim.com
UM Surabaya

Terkait salat bagi musafir yang bermakmum kepada imam mukim, apakah boleh berniat salat qashar?

Musafir disyariatkan untuk mengerjakan salat secara qashar. Qashar salat berarti mengerjakan salat 4 rakaat menjadi 2 rakaat. Karena itu, istilah qashar hanya berlaku untuk salat 4 rakaat.

Terdapat banyak dalil mengenai hal ini, di antaranya,

1. Firman Allah Ta’ala,

وَإِذَا ضَرَبْتُمْ فِي الْأَرْضِ فَلَيْسَ عَلَيْكُمْ جُنَاحٌ أَنْ تَقْصُرُوا مِنَ الصَّلَاةِ …

“Apabila kamu bepergian di muka bumi, maka tidaklah mengapa kamu men-qashar shalat(mu)…” [Q.S. an-Nisa’ (4)  101]. 

2. Keterangan Ibnu Abbas r.a , beliau mengatakan,

فَرَضَ اللهُ الصَّلاَةَ عَلَى لِسَانِ نَبِيِّكُمْ -صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ- فِى الْحَضَرِ أَرْبَعًا وَفِى السَّفَرِ رَكْعَتَيْنِ وَفِى الْخَوْفِ رَكْعَةً [رواه مسلم و أبو داود].

“Sesungguhnya, Allah mewajibkan salat melalui lisan Nabi saw ; untuk musafir: 2 rakaat, untuk mukim: 4 rakaat, dan shalat khauf (ketika perang) dengan 1 rakaat.” (HR. Muslim dan Abu Dawud). .

Musafir berjamaah di belakang Imam Mukim dan sebaliknya

Musafir boleh berjamaah di belakang imam mukim, ketika itu musafir mengerjakan salat tersebut secara sempurna (tetap dikerjakan empat rakaat untuk salat ruba‘iyyah).

Boleh pula sebaliknya, musafir menjadi imam untuk jamaah mukim dengan tetap men-qashar salat, jamaah mukim tetap mengerjakannya secara itmām (sempurna).”

‘Illat dibolehkannya qashar salat adalah bepergian (safar) sebagaimana firman Allah SWT dalam surah an-Nisa’ (4): 101.

Contoh dalam salat Zuhur:

1. Saat imam dari orang mukim, maka jamaah musafir tetap mengikuti imam mukim yang salat sempurna empat rakaat.

عَنْ أَنَسٍ بْنِ مَالِكٍ أَنَّ رَسُوْلَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ إِنَّمَا جُعِلَ الْإِمَامُ لِيُؤْتَمَّ بِهِ فَإِذَا كَبَّرَ فَكَبِّرُوا وَإِذَا رَكَعَ فَارْكَعُوْا وَإِذَا سَجَدَ فَاسْجُدُوا [رَوَاهُ البُخَارِي].

“Dari Anas (diriwayatkan), sesungguhnya Rasulullah saw bersabda, dijadikannya imam itu untuk diikuti. Jika imam bertakbir maka takbirlah kalian, jika rukuk maka rukuklah kalian, dan jika sujud maka sujudlah kalian.” (H.R. al-Bukhari Nomor 365)

Sesuai dengan pertanyaan saudara M. Sofyan, posisi sebagai orang yang bepergian, ketika mengikuti imam mukim salat Zuhur, dan imam mukim sedang dalam duduk tahiyat awal, makmum safar tetap berniat salat empat rakaat sempurna, sehingga menggenapkan kekurangannya dua rakaat, setelah imam mukim salam.

عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ عَنِ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ إِذَا سَمِعْتُمْ الْإِقَامَةَ فَامْشُوا إِلَى الصَّلَاةِ وَعَلَيْكُمْ بِالسَّكِينَةِ وَالْوَقَارِ وَلَا تُسْرِعُوا فَمَا أَدْرَكْتُمْ فَصَلُّوا وَمَا فَاتَكُمْ فَأَتِمُّوا [رواه البخاري].

“Dari Abu Hurairah (diriwayatkan) dari Nabi saw beliau bersabda apabila kalian mendengar iqamah berjalanlah menuju salat dengan tenang  dan pelan dan jangan tergesa-gesa apa yang telah kalian dapati maka salatlah dan yang terputus dari kalian maka sempurnakanlah.” (HR. al-Bukhari).    

2. Saat imam dari musafir, maka jamaah mukim tetap mengerjakan salatnya empat rakaat, tanpa mengikuti imam yang men-qashar. Jadi setelah imam salam pada rakaat kedua karena qashar salat, jamaah mukim tetap melanjutkan dua rakaat yang tersisa.

Dalil dari Musa bin Salamah (diriwayatkan), ia mengatakan:

كُنَّا مَعَ ابْنِ عَبَّاسٍ بِمَكَّةَ، فَقُلْتُ: إِنَّا إِذَا كُنَّا مَعَكُمْ صَلَّيْنَا أَرْبَعًا، وَإِذَا رَجَعْنَا  إِلَى رِحَالِنَا  صَلَّيْنَا  رَكْعَتَيْنِ. قَالَ:  تِلْكَ سُنَّةُ أَبِي الْقَاسِمِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ [رواه أحمد].

“Kami pernah bersama Ibnu ‘Abbas di Makkah. Kemudian Musa mengatakan, “Mengapa jika kami (musafir) shalat di belakang kalian (yang bukan musafir) tetap melaksanakan shalat empat rakaat (tanpa diqashar), namun ketika kami berada di kendaraan (di perjalanan), kami melaksanakan shalat dua rakaat (dengan diqashar)?” Ibnu ‘Abbas pun menjawab, “Itulah yang diajarkan oleh Abu al-Qasim (Rasulullah saw).” (HR. Ahmad  III: 358). Dari kitab Musnad Ahmad, bab Musnad Abdillah bin al-Abbas bin Abdil Muthalib.

Sahabat Imran ibn Hushain meriwayatkan:

مَا سَافَرَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ سَفَرًا اِلاَّ صَلَّى رَكْعَتَيْنِ حَتَّى يَرْجِعَ وَاِنَّهُ أَقَامَ بِمَكَّةَ زَمَانَ اْلفَتْحِ ثَمَانِيَ عَشْرَةَ لَيْلَةً يُصَلِّي بِالنَّاسِ رَكْعَتَيْنِ اِلاَّ اْلمَغْرِبَ ثُمَّ يَقُولُ يَا أَهْلَ مَكَّةَ قُومُوا فَصَلُّوا رَكْعَتَيْنِ أُخْرَيَيْنِ فَإِنَّا قَومٌ سَفْرٌ [رواه احمد].

“Rasulullah saw tidaklah bersafar melainkan mengerjakan salat dua rakaat saja sampai beliau kembali dari safarnya dan bahwasanya beliau telah berada di Makkah pada waktu Fathu Makkah selama delapan belas malam, beliau mengerjakan salat dengan para jamaah dua-dua rakaat kecuali salat Maghrib, setelah itu beliau bersabda: Wahai penduduk Makkah salatlah kamu sekalian dua rakaat lagi, karena sesungguhnya kami adalah or­ang yang sedang dalam safar.” [H.R. Ahmad].

Hadis ini menunjukkan bahwa musafir tetap mengerjakan salat empat rakaat ketika berada di belakang imam mukim. Namun apabila seorang musafir atau rombongan musafir melakukan salat sendiri tidak bermakmum di belakang imam mukim, maka melakukan qashar salat.

Ketentuan atau cara seperti ini sebagaimana keputusan Munas Tarjih XXVIII di Palembang, Sumatera Selatan tahun 2014. (*)

Sumber: Majalah SM No 24 Tahun 2021

*) Artikel ini juga tayang di suaramuhammadiyah.id

Untuk mendapatkan update cepat silakan berlangganan di Google News

 

 

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini