Syukur dalam Perspektif Fisika Quantum
foto: getty images
UM Surabaya

*) Oleh: Agusliadi Massere,
Wakil Ketua Majelis Pustaka dan Informasi PDM Bantaeng

Pada mulanya ketika saya mendapatkan percikan inspirasi di kamar mandi, judulnya adalah “Rasa Syukur dalam Gelombang Elektromagnetik”.

Atas pertimbangan memori dan pikiran sahabat pembaca agar mudah terarah pada pembahasan dalam tulisan ini dengan tatapan pertama pada judul, saya mengubahnya menjadi “Syukur dalam Perspektif Fisika Quantum”.

Saya yakin, terma “Fisika” lazim dipahami atau lebih familiar ketimbang “elektromagnetik”. Bahkan, ini dipahami sejak masih sekolah dasar.

Saya yakin jika sahabat pembaca memiliki referensi awal meskipun sedikit atau tidak terlalu mendalam, maka pembahasan ini akan menarik. Hal itu disebabkan karena dilihat dari judul saja ada dua poin substansial yang berada dalam ruang kajian yang berbeda.

Satu berada dalam ranah agama, dan satunya lagi berada dalam wilayah ilmu pengetahuan dan/atau sains. Dalam wilayah pemikiran, keduanya bisa saja diintegrasikan, sebagaimana pandangan Ian G. Barbour yang pernah dikutip M. Amin Abdullah (2020), bahwa hubungan antara agama dan ilmu pengetahuan dapat diklasifikasikan menjadi empat corak: Konfilik, Independen, Dialog, dan Integrasi.

Selama ini rasa atau perasaan syukur hanya dipahami—termasuk manfaatnya—dengan basis keyakinan dan sekaligus sebagai perintah atau ajaran agama yang ditegaskan melalui beberapa ayat dalam Alquran. Meskipun, beberapa di antara kita telah merasakan hikmah dan manfaat dari rasa syukur.

Saya belum sempat mencari secara detail ada berapa jumlah atau berapa kali kata “syukur” terungkap dalam Alquran. Namun, jika melihat dari Kamus Pintar Alquran karya Prof. Dr. H. Muhammad Chirzin, M.Ag, ada 13 ayat yang menjelaskan dan menegaskan tentang pentingnya rasa syukur, dan bahkan ada diksi mempertanyakan dan ancaman jika ada yang enggan bersyukur.

Kita bisa buka dan membacanya pada surah dan ayat-ayat ini: (2:152), (4:147), (14:7), (16:78), (16:121), (22:36), (27:19), (27:40), (28:73), (36:73), (39:66), (56:70), dan (93:11).

“Dan ingatlah juga, tatkala Tuhanmu memaklumkan ‘Sesungguhnya jika mau bersyukur, pasti Kami akan menambah nikmat kepadamu, dan jika kamu mengingkari nikmat-Ku, maka sesungguhnya azab-Ku sangat pedih’”. (QS. 14/7).

Secara sederhana dari Arvan Pradiansyah (2010) kita bisa memahami, bersyukur adalah sebuah proses berhenti sebentar di setiap momen dan menikmati momen tersebut.

Sebelum membaca karya Arvan dan ternyata relevan, saya memahami bahwa bersyukur itu adalah perasaan yang sangat subjektif dan bersifat relatif. Percikan rasa syukur dari setiap orang sangat tergantung dari kepribadian seseorang dalam menilai sesuatu.

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini