UM Surabaya

Bersyukur bukan hanya percikan verbal secara lisan di bibir dengan ucapan hamdalah tetapi melampaui dari itu, perasaan mendalam yang lahir dari kesadaran atas kenikmatan yang standarnya berdasarkan ukuran diri masing-masing.

Pemantik rasa syukur pada dasarnya bukan ditentukan oleh faktor eksternal tetapi lebih bersifat internal. Dan sebaliknya, dan itu yang akan kita bahas justru rasa syukur memengaruhi dimensi eksternal.

Hari ini, kita sedang berada dalam kondisi kehidupan yang dikitari dengan dinamika, dialektika, pergumulan, dan pergulatan  ilmu pengetahuan, teknologi, sains, dan kecendrungan berpikir rasional dan bahkan tidak sedikit yang positivistik.

Dan ini semua ikut memengaruhi cara manusia dalam bersikap, bertindak, mengambil keputusan, dan bahkan dalam menilai sesuatu.

Terkadang untuk mengungkap kebenaran suatu ajaran atau pemahaman, apatah lagi bermaksud agar orang lain bisa ikut memahami dan mengaplikasikannya dalam kehidupan, membutuhkan perangkat  dan metode pemahaman lain.

Tanpa bermaksud untuk merendahkan persoalan keyakinan dan ajaran agama, saya yakin semakin kokoh keyakinan dan pemahaman agama yang dimiliki jika bisa pula dibuktikan kebenarannya melalui pendekatan rasionalitas, ilmiah, dan sains.

Alasan inilah sebenarnya yang yang menyemangati saya untuk ingin menyelesaikan tulisan ini setelah mendapatkan percikan inspirasi.

Agar bisa memahami kebenaran rasa syukur melalui perspektif Fisika Quantum atau bagaimana rasa syukur menjadi bagian dari gelombang elektromagnetik, saya yakin kita harus terlebih dahulu menerobos, melumpuhkan, dan membongkar keyakinan kita tentang dualisme atau keterpisahan antara materi dan pikiran atau materi dan energi.

Pemahaman dan keyakinan ini sebagai efek dari pemahaman Fisika Klasik yang lazim pula dikenal dengan Fisika Newton yang banyak dipengaruhi oleh pemikiran Rene Descartes dan Sir Isaac Newton. Bahkan melalui pandangan ini atom pun dipahami sebagai hal yang bersifat material yang dikenal pula dengan “Atom Klasik”.

Mengapa kita perlu membongkar pemahaman di atas? Pada substansinya pemahaman di atas menegaskan tidak ada hubungannya antara pikiran atau energi dengan realitas empirik atau materi yang mengitari kehidupan kita.

Pasca fisika klasik atau dikenal pula dengan fisika newton, ditemukanlah fisika quantum. Secara sederhana fisika quantum—berbeda dengan fisika klasik—yang menegaskan salah satunya bahwa pikiran dan materi tidak lagi terpisah.

Bahkan Dr. Joe Dispenza menegaskan bahwa keduanya (baca: pikiran dan materi) secara intriksi berhubungan, karena pikiran subjektif memproduksi perubahan-perubahan dalam dunia fisik dan objektif yang bisa diukur.

Dispenza juga menegaskan bahwa di level subatomik, energi merespon penuh (mindful attention) Anda dan menjadi materi.

Selain itu, Dispenza memandang berdasarkan hasil temuannya “Kita terkoneksi dengan segala sesuatu di Medan [atau level] quantum”.

Dalam medan quantum di mana semua saling terkoneksi tanpa ada batasan, setiap diri bisa memengaruhi realitas yang akan terjadi dan/atau memengaruhi dimensi material sesuatu.

Dan tentu saja kemampuan memengaruhi hal material ini diawali dengan memengaruhi dimensi subatomik material tersebut dalam medan quantum.

Kemampuan diri kita untuk memengaruhi realitas atau hal material di luar diri, jika kita mendalami pandangan Dispenza ketika gelombang elektromagnetik yang kita pancarkan selaras atau antara sinyal listrik dan daya magnetis yang kita pancarkan ke medan quantum itu selaras.

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini