UM Surabaya

Perlu kita pahami bersama bahwa pikiran kita mampu mengirimkan sinyal listrik (elektrik), sedangkan perasaan membangkitkan daya magnetis.

Pikiran yang memancarkan sinyal elektrik dan perasaan yang membangkitkan daya magnetis harus memancarkan gelombang yang selaras agar mampu menjadi gelombang elektromagnetik yang kita pancarkan ke alam semesta pada medan quantum mampu memengaruhi realitas dan hal material di luar dari kita.

Sederhananya bisa dibahasakan seperti ini, terkait keselarasan yang dimaksud: Jika kita berpikir ingin menjadi cerdas, tetapi perasaan kita masih selalu mengatakan pada diri sendiri kita bodoh, maka ini tidak selaras, sehingga tidak bisa menjadi gelombang elektromagnetik yang dahsyat; dan contoh lainnya, ketika kita berpikir banyak cara untuk menjadi kaya, tetapi perasaan kita masih saja merasa miskin atau tidak cukup, maka kita sulit mencapai kekayaan tersebut. Jadi harus selaras antara pikiran dan perasaan.

Lalu di mana ruang relevansi dan kedahsyatan rasa syukur di balik gelombang elektromagnetik yang berasal dari pikiran dan perasaan tersebut.

Saya yakin, sebagai contoh saja, kita bisa berpikir banyak cara bagaimana kita bisa menjadi kaya tanpa dipengaruhi atau dihalangi oleh situasi dan kondisi sebenarnya yang kita alami. Tetapi, kita akan kesulitan untuk merasa kaya jika keadaan yang sebenarnnya menegaskan berlawanan atau paradoks atau memang kita masing dalam kondisi miskin dalam barometer material-duniawi atau ukuran dunia dan kapital.

Solusinya agar perasaan kita bisa senantiasa merasa kaya atau cukup adalah bersyukur. Sebagaimana yang telah ditegaskan di atas bahwa bersyukur itu bukan dipengaruhi oleh faktor eksternal tetapi oleh faktor internal.

Barometer atau ukuran sangat bersifat subjektif dan relatif  atau sangat tergantung pada diri kita masing-masing.

Menjaga perasaan untuk selalu bersyukur kita bisa meminjam beberapa poin substansial yang dimiliki Arvan:

Pertama, fokus pada yang telah dimiliki, bukan pada yang diinginkan. \

Kedua, fokus pada kelebihan, bukan pada kekurangan.

Ketiga, mendapatkan rahmat, tanyakan “mengapa saya”.

Keempat, ketika mendapatkan musibah tanyakan, “pelajaran berharga apa yang bisa saya dapatkan dari peristiwa ini”.

Kelima, bayangkan segala sesuatu tidak ada, atau sebelum kita tidak memiliki apa-apa.

Keenam, masukilah atau fokus pada masa kini.

Ketujuh, menjelajahi semua potensi yang dimiliki.

Minimal, ketujuh poin substansial yang diungkapkan oleh Arvan akan membuat kita selalu bersyukur sehingga kita akan memiliki perasaan yang membangkitkan daya magnetis atau gelombang yang selaras dengan sinyal elektrik yang dipancarkan pikiran ketika kita berpikir sedang ingin menjadi “cerdas” dan/atau “kaya”.

Merujuk pada pemikiran Erbe Sentanu, ternyata rasa syukur pun itu berada dalam zona ikhlas yang efeknya sangat dahsyat.

Saya pun sepakat bahwa keikhlasan terhadap segala sesuatu yang kita terima dan alami, itu pun cara terbaik untuk tetap menjaga ritme syukur, sehingga perasaan kita akan senantiasa membangkitkan daya magnetis yang akan selaras dengan sinyal elektrik yang dilahirkan oleh pikiran-pikiran yang kita miliki.

Marilah kita untuk senantiasa memancarkan pikiran dan perasaan yang selaras agar melahirkan gelombang elektromagnetik yang dahsyat dan bisa memengaruhi realitas maupun material mulai dari medan quantum.

Jika di dalam lebih jauh, meskipun dalam tulisan ini, kita sedang tidak membahasnya maka akan bermuara pada “tauhid” atau “ketauhidan” atau minimal pada salah satu dimensi tauhid yang disebut unity of creation (satu kesatuan penciptaan) apa yang ada di alam semesta ini tanpa kecuali yang ada pada diri kita masing-masing. (*)

*) Artikel ini juga tayang di suaramuhammadiyah.id

Untuk mendapatkan update cepat silakan berlangganan di Google News

 

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini