Akidah dan keimanan ditempa sedemikian rupa, dari tantangan/cobaan masa remaja, pemuda, hingga kehidupan keluarganya.
Dari ancaman eliminasi (dihabisin) dengan dibakar hidup-hidup, pengusiran dari kampung halaman, hingga ke ujian pengorbanan dengan menyembelih anak satu-satunya.
Setelah semua proses ujian itu dilalui Ibrahim AS para akhirnya menjadi solid dalam kehidupan beragama.
Pada aspek ritualnya Ibrahimlah yang diperintah untuk meninggikan fondasi Ka’bah dan mengumumkan (wa azdzin fin naas) kewajiban haji atas manusia.
Ibrahim pula menjadi simbol kemuliaan mu’amalat dan prilaku, baik pada lingkungan keluarga maupun keumatan. Bahkan beliau pada dirinya digelari “umat” (kaana ummatan).
Dengan fondasi keagamaan inilah Allah kemudian mendeklarasikannya sebagai pemimpin manusia. Sebagaimana difirmankan dalam Alquran:
“Dan ingat ketika Ibrahim diuji oleh Tuhannya dengan beberapa kalimat (ujian), lalu dia (Ibrahim) menyempurnakannya. Dia (Tuhan) berfirman: sesungguhnya Aku menjadikan kamu imaam (pemimpin) bagi manusia)”.
Secara umum kehidupan beragama (religiositas seseorang) itu ada pada empat hal:
1. Aspek akidah/keimanan.
2. Aspek ubudiyah/amalan-amalan ritual.
3. Aspek muamalat/koneksi sosial yang diatur secara global oleh Islam (mana halal atau haram, mana yang boleh atau tidak).
4. Aspek khuluqiyah/karakter (termasuk di dalamnya karakter emosi).
Aspek akidah/keimanan seseorang itu memang tidak diketahui atau dilihat (invisible) oleh siapa pun kecuali sang Pencipta dan yang bersangkutan. Tapi keimanan juga bukan suatu ruang hampa tanpa bukti-bukti.
Keimanan itu akan terlihat dalam komitmen pengabdian, baik secara vertikal (hablun minallah) maupun horizontal (hablun minan naas). Tanda-tanda keimanan itu banyak disebutkan dalam banyak tempat di Alquran.