Urgensi Transfer Imkan Rukyat dalam Kalender Islam Global
Ketua PP Muhammadiyah Syamsul Anwar
UM Surabaya

Imkanu rukyat memiliki peran penting dalam ramalan astronomis tentang keterlihatan hilal. Istilah ini sering diterjemahkan sebagai “visibility” dalam bahasa Inggris, menandakan kemungkinan untuk melihat bulan sabit.

Pendapat para ahli dalam bidang ilmu falak bisa bervariasi tentang parameter dan elemen yang berkontribusi pada prediksi keterlihatan hilal.

Menurut Ketua PP Muhammadiyah Syamsul Anwar dalam Seminar Nasional Sosialisasi Kalender Hijriah Global Tunggal (KHGT) pada Jumat (5/1/2024), imkanu rukyat beroperasi sebagai bentuk hisab (perhitungan) daripada pengamatan visual langsung.

Sementara rukyat melibatkan pengamatan fisik hilal, baik dengan mata telanjang atau alat optik seperti teleskop, imkanu rukyat bergantung pada posisi geometris dan perhitungan.

Satu perbedaan krusial antara imkanu rukyat dan rukyat tradisional terletak pada dampaknya terhadap kalender Islam global. Keduanya menghadapi tantangan terkait dengan batasan kaveran Bumi, mirip dengan keterbatasan dalam pengamatan hilal secara fisik.

Namun, sifat prediktif imkanu rukyat memungkinkannya untuk meramalkan terjadinya rukyat jauh sebelum hari-H dan tidak dipengaruhi oleh kondisi cuaca sore hari, berbeda dengan rukyat yang sangat dipengaruhi oleh kondisi cuaca seperti langit berawan, hujan, dan sebagainya.

Perbedaan penting lainnya, imkanu rukyat dapat meramalkan seluruh muka bumi yang akan melihat hilal, sementara rukyat fisik tidak mampu melakukan hal itu karena keterbatasan dalam mengamati hilal di seluruh bagian muka bumi. Artinya, imkanu rukyat dapat bersifat global, sedangkan rukyat fisik tidak dapat dilakukan secara global karena sejumlah keterbatasan yang dimiliki.

Transfer Imkan Rukyat

Imkanu rukyat hilal pada hari pertama terjadinya tidak akan pernah mencakup seluruh kawasan muka bumi. Hanya sebagian kecil dari permukaan bumi yang akan mengalami imkanu rukyat, dan ini dapat bervariasi dari kawasan yang luas hingga kawasan yang sempit.

Fenomena serupa terjadi pada rukyat fisik, di mana tidak mungkin seluruh muka bumi pada hari pertama rukyat dapat melihat hilal. Hanya sebagian kecil dari muka bumi, yang bisa saja luas atau sempit, yang memiliki kesempatan untuk melihat hilal secara fisik.

Bulan, dalam pergerakan semunya, bergerak dari arah timur ke arah barat dengan posisi semakin meninggi. Ini berarti bahwa saat bulan melintasi kawasan timur, posisinya mungkin masih rendah bahkan mungkin masih di bawah ufuk ketika matahari tenggelam. Namun, ketika pergerakannya mencapai kawasan lebih barat di muka bumi, bulan akan lebih tinggi, dan di kawasan ujung barat bumi, posisinya mungkin sudah sangat tinggi.

Akibatnya, orang yang berada di sebelah barat memiliki peluang lebih besar untuk melihat hilal pada hari pertama kemunculannya. Sebaliknya, orang di kawasan ujung timur bumi, seperti Selandia Baru, Samoa, Jepang, dan sekitarnya, dianggap kurang beruntung untuk melihat hilal pada hari pertama kemunculannya. Sebagai kontrast, orang di benua Amerika dianggap lebih beruntung karena memiliki peluang lebih besar untuk melihat hilal pada hari pertama kemunculannya.

Dalam konteks global, Syaikhi Zadah, seorang ulama Hanafi mutaakhirin, menegaskan bahwa jika hilal terlihat di suatu kawasan, maka rukyat itu berlaku bagi semua manusia tanpa mempertimbangkan perbedaan matlak.

Dengan kata lain, jika seseorang di kawasan barat melihat hilal, maka rukyat itu dianggap berlaku bagi orang di kawasan timur. Pernyataan serupa juga ditemukan dalam pandangan Imam an-Nawawi, yang menyatakan bahwa beberapa ulama dalam mazhab Syafiiah menyatakan bahwa rukyat di suatu tempat berlaku bagi seluruh penduduk bumi.

Syamsul mengatakan bahwa pandangan para ulama di atas mengacu pada imkanu rukyat (ramalan) bukan rukyat fisik. Hal ini karena rukyat fisik tidak dapat diberlakukan secara global. Misalnya, jika hilal terlihat di New York pada pukul 06:00 sore waktu setempat, di Indonesia bagian barat saat itu sudah pukul 06:00 pagi. Oleh karena itu, orang Indonesia tidak mungkin menunggu hasil rukyat fisik di New York.

Pernyataan para ulama di atas, ucap Syamsul, seharusnya diartikan sebagai rukyat “yang diramalkan”, yaitu rukyat yang diperkirakan berdasarkan hisab, atau imkanu rukyat. Dasar pandangan ini adalah hadis Nabi saw yang memerintahkan untuk berpuasa dan beridulfitri saat terjadi rukyat.

Hadis ini secara umum mengarahkan agar berpuasa dan beridulfitri saat ada yang melihat hilal, sehingga ulama di atas menyimpulkan bahwa di mana pun hilal terlihat, seluruh umat Muslim wajib berpuasa, termasuk yang berada di kawasan yang belum melihat hilal baik karena masih rendah posisinya maupun karena berada di bawah ufuk. Pandangan ini yang cocok untuk perumusan kalender Islam global. (*/tim)

Untuk mendapatkan update cepat silakan berlangganan di Google News

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini