Kenali Hilah, Tipu Daya yang Bertujuan Merusak Syariat
UM Surabaya

Syariah memiliki tujuan-tujuan yang mulia. Ia membawa rahmat bagi seluruh alam (QS. Al Anbiya: 107), menjadi penyembuh dan petunjuk bagi orang-orang beriman (QS. Yunus: 57), serta tidak membawa kesulitan (QS. Al Maidah: 6).

Syariah memiliki tujuan suci untuk mengatur kehidupan umat manusia dengan adil dan harmonis. Namun, di tengah upaya menjaga murninya syariat, muncul ancaman yang tak kalah serius, yaitu hilah.

Kata “hilah” sendiri berasal dari al-ihtiyal yang berarti tipu muslihat. Meskipun Imam al-Syatibi memberikan arti hilah sebagai kecerdasan atau kecerdikan, namun umumnya kata ini membawa konotasi negatif.

Dalam konteks istilah syariat, hilah merujuk pada segala bentuk kelicikan yang dapat mengantarkan kepada tujuan tersembunyi.

Mayoritas ulama sepakat bahwa hilah menjadi sesuatu yang dilarang, karena memiliki potensi merusak tujuan suci dari syariat itu sendiri.

Secara sederhana, hilah dapat dipahami sebagai memanfaatkan perbuatan yang benar, namun dalam rangka mewujudkan tujuan yang salah.

Inilah yang membuat hilah menjadi praktik yang dihindari dalam konteks syariat. Umat Islam perlu memahami bahwa praktik hilah membawa risiko besar terhadap keaslian dan integritas syariat.

Alquran menyoroti perbuatan hilah dalam beberapa ayat. Salah satunya terdapat dalam QS. Al-Baqarah ayat 9, yang menggambarkan orang-orang yang berpura-pura beriman kepada Allah SWT.

Ayat ini memberikan gambaran tentang praktik hilah yang dilakukan oleh orang-orang yang dengan sengaja menyembunyikan kekufuran mereka di balik tirai kepalsuan iman.

Salah satu contoh nyata perbuatan hilah adalah sengaja menggugurkan kewajiban zakat harta yang akan mencapai satu tahun (masa haul) dengan menukarkannya atau menjualnya untuk kemudian uangnya dibelikan barang sejenis atau yang lainnya, semata-mata karena takut zakat.

Tindakan ini mencerminkan bagaimana hilah dapat dimanfaatkan untuk mengelak dari tanggung jawab yang seharusnya diemban oleh setiap muslim.

Dalam kasus tersebut, hilah bukan sekadar menunjukkan kreativitas dalam mencari jalan keluar, tetapi juga menciptakan celah untuk memanipulasi dan mempermainkan syariat.

Tindakan menyusun strategi agar zakat tidak jatuh pada waktunya dan bahkan berubah bentuk menjadi transaksi lainnya, secara langsung merusak esensi syariat Islam yang seharusnya menjadi pedoman utama bagi umat Islam.

Unsur paling merusak dari praktik hilah ini terletak pada manipulasi syariat, di mana norma-norma agama diputar-balik sesuai dengan keinginan pribadi.

Dengan kata lain, syariat yang seharusnya menjadi panduan bermoral dan etika, dijadikan sebagai alat untuk mengelak dari kewajiban zakat.

Perbuatan menggugurkan kewajiban zakat dengan menggunakan hilah tidak hanya merugikan dari segi keuangan, tetapi juga mengandung bahaya moral.

Hilah bukan hanya sekadar tindakan kelicikan keuangan, melainkan sebuah bentuk tunggangan hawa nafsu.

Masyarakat yang terbiasa menggunakan hilah untuk menghindari kewajiban agama dapat terjerumus dalam kecenderungan egois dan keserakahan.

Dengan demikian, hilah menciptakan dua sisi yang menyakitkan,  pertama, memanipulasi dan mempermainkan syariat yang seharusnya menjadi pedoman moral.

Kedua, menjadikan syariat sebagai tunggangan hawa nafsu yang merugikan masyarakat secara keseluruhan. (*)

*) Artikel ini juga tayang di muhammadiyah.or.id

Untuk mendapatkan update cepat silakan berlangganan di Google News

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini