Adapun yang kedua, yaitu orang yang menempuh jalan (mendekatkan diri kepada Allah), mereka belum sampai pada tingkatan yang demikian itu.
Mereka melihat kepada amalnya, merasa gembira dan berharap kepada Allah jika melakukan kebajikan, dan merasa takut dan berkurang harapannya kepada Allah apabila tergelincir melakukan kesalahan.
Yang demikian itu adalah sesuai dengan tingkatannya, yakni rohaninya dalam kedekatan dengan Allah.
Syaikh Sa’id Ramadhan Al-Buthi berkata bahwa hubungan antara manusia dengan Allah berbeda sifatnya dengan hubungan antara manusia dengan manusia.
Hukum yang berlaku dalam hubungan antara manusia dengan manusia ialah manusia berbuat dan memperoleh imbalan dari perbuatannya.
Tetapi tidak demikian halnya hubungan antara manusia dengan Allah. Allah memberikan hidayah kepada manusia dan memberikan daya dan kekuatan sehingga manusia sanggup beramal, mengerjakan perintah, dan meninggalkan larangan.
Allah berfirman:
“Mereka merasa telah memberi nikmat kepadamu dengan keislaman mereka. Katakanlah: “Janganlah kamu merasa telah memberi nikmat kepada-Ku dengan keislaman kamu, sebenarnya Allah yang melimpahkan nikmat kepada kamu dengan menunjukkan kamu pada iman”. (QS. Al-Hujrat:17).
Maka ganjaran yang diberikan Allah janganlah dipandang sebagai imbalan atas ibadah yang engkau lakukan.
Sebagaimana dikatakan di dalam Jawharah Al-Tawhīd, “Jika Allah memberi pahala kepada kami adalah semata-mata karena anugerah-Nya, dan jika Allah menimpakan siksa adalah semata-mata karena keadilan-Nya”.
Salah satu dari makna yang terkandung dalam iman dan tauhid kepada Allah ialah kita percaya bahwa segala sesuatu datang dari Allah dan bahwa tidak ada daya dan kekuatan kecuali atas pertolongan-Nya. (*/tim)
Untuk mendapatkan update cepat silakan berlangganan di Google News