*) Oleh: Dr. Nurbani Yusuf
Sayidina Ali krwjh berkata: “Jenazah Nabimu masih hangat belum di kuburkan. Kalian sudah berebut jabatan.”
Sayidina Umar ra berkata: “Umat Islam di ambang pecah. Pengganti Nabi harus segera dipilih.”
Sayidina Saad bin Abu Ubadah berkata: “Dari kami (anshor) amir. Dari kalian (muhajirin) juga amir.”
Sayidina Abu Bakar ra berkata: “Dari kami (muhajirin) amir. Dari kalian (anshor) wazir.”
Lantas Sayidina Umar ra membekap tangan Sayidina Abu bakar dan membaiatnya di ikuti kaum muslimin lainnya.
***
Cara Sayidina Umar ra ini yang menarik, di tengah selisih dan konflik yang sangat. Sayidina Umar memecah buntu.
Boleh setuju boleh tidak. Tapi ini cara paling efeisien dan efektif meminimalisir konflik dan akibat buruk perang saudara antara kaum muhajrin dan ashor berikut kabilah yang mendukungnya bisa dicegah.
Sebaliknya Sayidina Ali ra merasa ditinggalkan, tapi apa hendak dikata. Momen pergantian kekuasaan tak boleh dibiarkan terlalu lama.
Momen tak pernah datang dua kali. Dan tak perlu bilang bahwa Sayidina Umar dan Sayidina Abu Bakar bersekongkol meninggalkan Sayidina Ali yang sedang berkabung di samping jenazah Nabi saw.
Bahkan konon, kabar sebagian sejarawan menyebut Sayidina Ali ra lambat memberi baiat, hingga Umar datang ke rumahnya sambil mendobrak pintu, hingga Sayyidah Fatimah az Zahra yang hendak membukakan terjatuh pingsan (menurut versi Az Zamakhsyari dan ulama Syiah lainnya). Saya tak tau versi mana yang benar dan legitimate).
***
Dalam forum itu, Saad bin Abu Ubadah berkata: Dari kami amir. Dari kalian juga amir. Tapi Sebagian besar bersetuju dengan pendapat sayidina Abu Bakar: “Dari kami amir. Dari kalian wazir.”
Kemudian Saad ra walk out dari forum. Besoknya, jenazah sahabat yang dijamin Nabi saw masuk surga tanpa di hisab ini ditemukan tergeletak di gurun sahara.
Gharizah politik kekuasaan memang keras, sering kali nyawa menjadi taruhan. Dan itu lazim dan biasa.
Para salaf saleh yang dijamin masuk surga juga tak luput dari selisih dan pertumpahan darah di antara mereka, berebut kekuasaan dan legitimasi.
Sayidina Ali krwjh berperang melawan Sayidah Aisyah ra, istri kesayangan Nabi saw. Bukankah Sayidah Fatimah az Zahra juga tidak bertegur sapa hingga ajal dengan Sayidina Abu Bakar ra karena konflik harta Fida’.
Sayidina Ali krwj kalah taktik melawan Muawiyah dalam peristiwa tahkim, meski perang fisik telah di menangkan. Kemudian Muawiyah berkuasa hingga lima abad membangun peradaban Islam yang luar biasa.
***
Sayidina Ali krwjh yang cerdas, wara, perfect, alim dan zuhud itu kalah melawan Mu’awwiyah ra yang ulet, cerdik, upportunis, visioner dan fleksibel.
Jadi mau ambil sanad yang mana?
Bukankah kekuasaan itu soal siasat dan strategi meraih dan mempertahankan kekuasaan?
Apakah para sahabat dan salafus saleh tidak membaca kitab, tidak meneladani Nabi saw sehingga harus berselisih dan bertumpah darah?
Realitasnya tidak ada kaitan antara kepintaran dan kecerdasan dengan kekuasaan. Sebab keduanya berjalan sendiri meski beriringan. Sunatullah kepintaran dan kekuasaan adalah dua hal berbeda.
Ken Arok bunuh gurunya dengan keris Mpu Gandring yang dibuatnya sendiri. Kemudian ia bunuh tuannya sebelumnya ia selingkuhi istrinya.
Berlanjut pada Kebo Ijo sahabat karib terdekatnya sebagai tumbal menutup segala soal. Ken Arok bertahta membangun imperium Singasari, dua abad lebih.
***
Sejarah kekuasaan dan politik itu terus berulang mengambil momen dan kisahnya.
Diktator Pharaoh yang bengis, Khilafah Ottoman yang Islamis, para Kisra di imperium Romawi hingga Eropa Abad Tengah dan kejayaan kekuasaan Teokrasi Gereja juga tak kalah gelap.
Jadi ke manakah sanad tentang politik kekuasaan disandarkan? (*)
Untuk mendapatkan update cepat silakan berlangganan di Google News