Realitas ini tidak lepas dari adanya sejumlah tokoh masyarakat yang mengatasnamakan kelompok Petisi 100 setelah bertemu langsung dengan Menko Polhukam Mahfud MD di kantor Kementerian Polhukam.
Pertemuan tersebut terkait pembentukan Satgas Pemilu oleh Kemenko Polhukam. Kelompok Petisi 100 menyampaikan usulannya agar Presiden Joko Widodo dimakzulkan.
Mereka beralasan bahwa publik menduga ada keterlibatan presiden dalam Pemilu 2024. Kritikus politik Faizal Assegaf mengatakan pertemuan membahas potensi kecurangan pemilu.
Petisi 100 juga menyampaikan kepada Mahfud MD berdasarkan pendapat publik. Presiden Joko Widodo diduga terindikasi melakukan kecurangan pemilu dengan memanfaatkan kekuasaannya.
Menurut Faizal mengatasnamakan Petisi 100, Presiden Joko Widodo harusnya dimakzulkan dari jabatan guna mencegah kecurangan.
Sementara itu, pakar politik Ikrar Nusa Bhakti menyatakan bahwa usulan pemakzulan atau impeachment terhadap Presiden Joko Widodo (Jokowi) agak susah lantaran partai politik (parpol) pendukungnya menguasai DPR RI.
Hal ini disebabkan oposisi di DPR RI juga tidak kuat dan para pimpinan DPR dan partai politik (parpol) tersandera oleh Jokowi. Menurutnya, presiden Jokowi hanya bisa jatuh apabila menteri penting di kabinetnya mundur karena akan membuat legitimasi politiknya rendah. (tribunnews.com, 15/1//2024).
Sejumlah pandangan di atas menguatkan wacana pemakzulan mengingat cawe-cawe Jokowi sudah terlalu jauh. Hal itu berawal dari Mahkamah Konstitusi (MK) yang dipandang menyalahi etika bernegara, melanggar UU dimana Jokowi membiarkan anaknya melanggar aturan bernegara sehingga lolos menjadi Cawapres.
Wacana pemakzulan yang terus menggema bermuara pada penyelundupan pasal yang membuat anak presiden, Gibran Rakabuming Raka masuk mendampingi Prabowo.
Dengan kata lain, publik mewacanakan pemakzulan kepada presiden Jokowi bukan sebagai permusuhan pada Prabowo tetapi memusuhi Jokowi sebagai musuh demokrasi yang ingin melanggengkan politik dinasti.
Memakzulkan Jokowi bukan semata mengembalikan nalar etik yang sudah terinjak-injak, tetapi agar peristiwa membuat politik dinasti dan demokrasi kerajaan tidak terulang di masa mendatang. (*)
Yogyakarta, 15 Januari 2024
Untuk mendapatkan update cepat silakan berlangganan di Google News