Seandainya anjing tersebut hanya meletakkan tangannya di bejana atau mencelupkan tangan di air dan tidak meminumnya, maka tidak wajib mencuci bejana tersebut tujuh kali.
Karena syariba (meminum) adalah dengan menghirup air dan walagho (menjilat) adalah dengan memasukkan lidah ke dalam air.
Termasuk pula jika air liur anjing jatuh di sesuatu yang bukan zat cair, tidak pula diwajibkan mencuci tujuh kali.
Sama halnya pula jika anjing menjilat atau menyentuh tangan manusia, maka tidak ada kewajiban mencuci tujuh kali.
Karena yang dibicarakan dalam hadis hanyalah menjilat atau meminum, tidak untuk yang lainnya. Sehingga yang lainnya tidak berlaku hukum tujuh kali.
Air liurnya tetap najis, namun tidak diharuskan dicuci tujuh kali ketika tangan atau badan kita dijilat anjing.
Kedua, mencuci bejana tujuh kali di atas hanya berlaku untuk anjing saja, tidak untuk babi atau binatang lainnya.
Tidak berlaku qiyas dalam hal ini karena kita sendiri tidak diberitahukan oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam kenapa bejana harus dicuci ketika dijilat anjing.
Ketiga, wajib mencuci bejana seperti piring, gelas, dan ember yang telah dijilat anjing dan pencuciannya sebanyak tujuh kali.
Karena dalam hadits di atas digunakan kata perintah “فَلْيَغْسِلْهُ”, yang bermakna “cucilah”, bermakna wajib. Inilah yang menjadi pendapat jumhur ulama, yaitu Syafi’iyah, Hambali dan Hanafiyah.
Keempat, dalam hadis di atas disebutkan “أُولاَهُنَّ بِالتُّرَابِ”, yang awal dengan tanah. Dalam riwayat Abu Hurairah disebutkan “إِحْدَاهُنَّ بِالتُّرَابِ”, salah satunya dengan tanah.
Pada riwayat Tirmidzi dari Abu Hurairah disebutkan “أُولاَهُنَّ أَوْ أُخْرَاهُنَّ بِالتُّرَابِ”, yang awal atau terakhir dengan tanah.