Dari pengertian tersebut, dapat dikatakan bahwa tujuan syariah menurut Imam al-Syatibi adalah kemaslahatan umat manusia. Adapun yang dimaksud kemaslahatan dalam hal ini diartikannya sebagai segala sesuatu yang menyangkut rezeki manusia, pemenuhan penghidupan manusia, dan perolehan apa-apa yang dituntut oleh kualitas-kualitas emosional dan intelektualnya, dalam pengertian yang mutlak.
Berkaitan dengan hal tersebut, Ia menyatakan bahwa tidak satu pun hukum Allah yang tidak mempunyai tujuan karena hukum yang tidak mempunyai tujuan sama dengan membebankan sesuatu yang tidak dapat dilaksanakan (Khairul Umam, 2001:125).
Ulama mutaakhirin (kontemporer), seperti halnya menurut pandangan Thahir Ibnu Ashur, telah mendefinisakan maqashid al-syari’ah adalah makna-makna dan hikmah-hikmah yang telah dijaga oleh Allah dalam segala ketentuan hukum syariah baik yang kecil maupun yang besar dan tidak ada pengkhususan dalam jenis ketentuan dari hukum syariah (Ahmad ar-Raisuni, 1992:13).
Adapun Satria Efendi mendefinisikan maqashid al-syari’ah mengandung pengertian umum dan pengertian khusus. Pengertian yang bersifat umum mengacu pada apa yang dimaksud oleh ayat-ayat hukum atau hadis-hadis hukum, baik yang ditunjukkan oleh pengertian kebahasaannya atau tujuan yang terkandung di dalamnya.
Pengertian yang bersifat umum itu identik dengan pengertian istilah maqashid al-syari’ah (maksud Allah dalam menurunkan ayat hukum, atau maksud Rasulullah dalam mengeluarkan hadits hukum). Sedangkan pengertian yang bersifat khusus adalah substansi atau tujuan yang hendak dicapai oleh suatu rumusan hukum (Satria Effendi, 2005:14).
Adapun penjelasan mengenai kandungan maqashid al-syari’ah dapat diketahui dengan merujuk ungkapan al-Syathibi, seorang tokoh pembaru ushul fiqh yang hidup pada abad ke-8 Hijriah, dalam kitabnya Al-Muwafaqat fi Ushul al-Syari’ah.
Imam al-Syathibi mengatakan bahwa sesungguhnya syariat itu ditetapkan tidak lain untuk kemaslahatan manusia di dunia dan di akhirat. Jadi, pada dasarnya syariat itu dibuat untuk mewujudkan kebahagiaan individu dan jamaah, memelihara aturan serta menyemarakkan dunia dengan segenap sarana yang akan menyampaikannya kepada jenjang kesempurnaan, kebaikan, budaya, dan peradaban yang mulia, karena dakwah Islam merupakan rahmat bagi semua manusia.
Dari pengertian di atas, dapat dikatakan bahwa yang menjadi bahasan utama dalam maqashid al-syari’ah adalah hikmah dan illat ditetapkan suatu hukum. Dalam kajian ushul fiqh, hikmah berbeda dengan illat. Illat adalah sifat tertentu yang jelas dan dapat diketahui secara objektif (zahir), dan ada tolak ukurnya (mundhabit), dan sesuai dengan ketentuan hukum (munasib) yang keberadaannya merupakan penentu adanya hukum.
Sedangkan pengertian hikmah adalah sesuatu yang menjadi tujuan atau maksud disyariatkannya hukum dalam wujud kemaslahatan bagi manusia. Adapun pengertian maslahat secara umum dapat dicapai melalui dua cara:
Pertama, mewujudkan manfaat, kebaikan dan kesenangan untuk manusia yang disebut dengan istilah jalb al-manafi (menarik manfaat). Manfaat ini bisa dirasakan secara langsung saat itu juga atau tidak langsung pada waktu yang akan datang.
Kedua, menghindari atau mencegah kerusakan dan keburukan yang sering diistilahkan dengan dar’ al-mafasid (menolak kerusakan). Adapun yang dijadikan tolok ukur untuk menentukan baik buruknya (manfaat dan mafsadahnya) sesuatu yang dilakukan adalah apa yang menjadi kebutuhan dasar bagi kehidupan manusia. Tuntutan kebutuhan bagi kehidupan manusia itu bertingkat-tingkat, yakni kebutuhan primer, sekunder, dan tersier.(*)
Untuk mendapatkan update cepat silakan berlangganan di Google News