Perilaku seorang hamba yang senantiasa memahami dan meyakini dirinya selalu diawasi inilah yang disebut murâqabah.
Murâqabah ini merupakan hasil dari pengetahuan seseorang yang dengannya dia meyakini bahwa Allâh Subhanahu wa Ta’ala senantiasa mengawasi, melihat, mendengar dan mengetahui semua sepak terjangnya setiap saat, setiap tarikan napas dan setiap kejapan mata. [1]
Nash-nash di bawah ini menunjukkan keharusan setiap Muslim untuk selalu merasa diawasi semua sepak terjang lahir dan batinnya oleh Allâh Azza wa Jalla.
Allâh Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
وَاعْلَمُوا أَنَّ اللَّهَ يَعْلَمُ مَا فِي أَنْفُسِكُمْ فَاحْذَرُوهُ
“Dan ketahuilah sesungguhnya Allâh Maha mengetahui apa yang tersembunyi di dalam dirimu, maka berhati-hatilah. (Al-Baqarah/2:235)
Al- H âfizh Ibnu Katsir rahimahullah menjelaskan tentang ayat ini, bahwa Allâh Subhanahu wa Ta’ala mengancam para laki-laki yang mempunyai maksud buruk dalam urusan wanita.
Sebaliknya Allâh Subhanahu wa Ta’ala memberikan petunjuk agar yang disembunyikan di dalam hati hanyalah kebaikan dan bukan keburukan. [2]
Meskipun itu terkait dengan para laki-laki terhadap wanita yang ditinggal mati suami, tetapi secara umum memang demikianlah, Allâh Subhanahu wa Ta’ala Maha mengetahui semua apa yang disembunyikan di dalam hati.
Hal ini menuntut setiap orang untuk selalu merasa dilihat dan diawasi oleh Allâh Subhanahu wa Ta’ala .
Begitu pula ayat-ayat berikutnya, menunjukkan bahwa Allâh Subhanahu wa Ta’ala Maha mengetahui semua perbuatan manusia, sekalipun disembunyikan di dalam hatinya [3] . Yaitu firman Allâh Subhanahu wa Ta’ala:
وَكَانَ اللَّهُ عَلَىٰ كُلِّ شَيْءٍ رَقِيبًا
“Dan Allâh Maha mengawasi segala sesuatu.” [Al-A h zâb/33:52]
وَهُوَ مَعَكُمْ أَيْنَ مَا كُنْتُمْ
“Allâh menyertai kalian dimanapun kalian berada.” [Al- H adîd/57:4]
أَلَمْ يَعْلَمْ بِأَنَّ اللَّهَ يَرَىٰ
“Tidak tahukah ia (Abu lahab) bahwa Allâh melihatnya.” [Al-‘Alaq/96:14]
فَإِنَّكَ بِأَعْيُنِنَا
“Sesungguhnya engkau senantiasa berada dalam pengawasan mata Kami.” [Ath-Thûr/52: 48]
يَعْلَمُ خَائِنَةَ الْأَعْيُنِ وَمَا تُخْفِي الصُّدُورُ
“Allâh Maha Mengetahui mata yang berkhianat dan Maha Mengetahui apa yang disembunyikan oleh dada.” [Ghâfir/40:19]
Apabila pengertian-pengertian seperti yang terkandung pada nash-nash di atas selalu dipahamkan kepada anak-anak semenjak dini, maka –bi idznillâh-mereka akan menjadi hamba-hamba Allâh yang khusyuk, bertakwa, ikhlas dan berhati-hati dalam menjalani kehidupan di dunia ini.
Murâqabah yaitu selalu merasa diawasi oleh Allâh Azza wa Jalla, merupakan asas bagi semua amalan hati dan merupakan tiang bagi semua amalan hati.
Sikap tenang dan khusyuk dalam menjalankan ibadah kepada Allâh Subhanahu wa Ta’ala , berpangkal pada murâqabah ini.
Bahkan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam telah menjadikan semua pokok dan semua cabang amalan hati terangkum pada satu kalimat (yang intinya adalah murâqabah), yaitu sabda Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam [4] :
أَنْ تَعْبُدَ اللَّهَ كَأَنَّكَ تَرَاهُ، فَإِنْ لَمْ تَكُنْ تَرَاهُ فَإِنَّهُ يَرَاكَ . رواه البخاري عن أبى هريرة، و مسلم عن أبى هريرة و عن عمر رضي الله عنهما
“(Ihsan ialah) apabila engkau beribadah kepada Allâh seakan-akan engkau melihat-Nya. Maka apabila engkau tidak melihat-Nya, maka sesungguhnya Allâh melihatmu.” [HR. Al-Bukhâri dari Abu Hurairah dan Muslim dari Abu Hurairah Radhiyallahu anhuma dan Umar bin Khatthab Radhiyallahu anhu]. [5]
Semakin kuat murâqabah seseorang, maka akan semakin menimbulkan rasa malu, rasa tenang, rasa cinta, tunduk, khusyuk takut dan pengharapan yang besar kepada Allâh.
Ini tidak akan diperoleh jika tidak ada muraqabah, rasa selalu diawasi oleh Allâh Azza wa Jalla. [6]
Sikap tenang dalam melaksanakan tugas ibadah, itulah yang mendatangkan ketundukan, kekhusyukan, konsentrasi dan terhimpunnya hati ketika beribadah kepada Allâh Azza wa Jalla.
Dari sinilah seseorang akan dapat menyelaraskan antara hati dan anggota badannya dalam menunaikan ibadah.
Kekhusyukan merupakan hasil dari ketenangan. Khusyuknya anggota badan adalah hasil dari khusyuknya hati. [7]. (*/tim)
Footnote:
[1] Madârij as-Sâlikîn, Ibnu al-Qayyim, taqdîm : Mu h ammad Abdur Ra h mân al-Mura’syili, Dâr I h yâˈ at-Turâts al-‘Arabi, Beirut, cet. II, tanpa tahun, II/49.
[2] Tafsîr Ibnu Katsîr, ayat terkait; QS. Al-Baqarah: 235
[3] Imam Ibnu al-Qayyim t mengetengahkan ayat-ayat ini ketika membahas murâqabah. Lihat Madârij as-Sâlikîn, op.cit. II/49
[4] I’lâm al-Muwaqqi’în ‘An Rabbi al-‘Âlamîn, ta h qîq : Mu h ammad Mu h yiddîn ‘Abdul H amîd, Dâr al-Fikr, Beirut, cet. III, th. 1397 H/1977 M, IV/203
[5] Sha h î h al-Bukhâri(Fat h u al-Bâri) , I/114, Bâb37 , no. 50. Sha h î h Muslim bi Syar h i an-nawawi, ta h qîq: Khalîl Maʹmûn Syî h â, I/110, Kitâb al-Îmân, bâb 1, no. 93.
[6] I’lâm al-Muwaqqi’în , op.cit. IV/203
[7] Ibid.
Untuk mendapatkan update cepat silakan berlangganan di Google News