Bentuk-bentuk Irfani
Dalam analisis Sopa, pembahasan mengenai irfani dalam Muhammadiyah tidak hanya terbatas pada satu dimensi, melainkan mencakup tiga bentuk, yaitu irfani sebagai ihsan; irfani sebagai pilihan yang terbaik; dan irfani sebagai zuhud dan wara’.
Pertama, Irfani sebagai Ihsan. Irfani dipahami sebagai bentuk ihsan dalam konteks menyembah Allah dengan khusyu. Sesuai dengan hadis Riwayat Bukhari bahwa ihsan ialah beribadah seolah-olah dapat melihat Allah secara langsung.
Konsep ihsan juga mengandung makna berlaku baik terhadap sesama, terutama terhadap orang tua, kerabat, yatim, dan anak miskin, sebagaimana disebutkan dalam QS. Al-Baqarah ayat 83.
Haedar Nashir menafsirkan ihsan dalam konteks ini sebagai “rasa kemanusiaan atau empati,” yang dapat diilustrasikan dengan upaya mentaati protokol kesehatan sebagai bentuk empati terhadap para petugas kesehatan dalam menghadapi pandemi COVID-19.
Selain itu, Amin Abdullah juga pernah menyampaikan interpretasi irfani sebagai etika syari dalam budaya. Contohnya, dalam seni tari, ketika ada pertunjukan yang tidak menutup aurat, pendekatan irfani mengarah pada penyempurnaan dengan memberikan pakaian penutup aurat, bukan melarang sepenuhnya berdasarkan fatwa tarjih 2004 tentang hukum seni budaya dalam Islam.
Kedua, Irfani sebagai Pilihan Lebih Baik. Irfani diwujudkan sebagai pilihan lebih baik dengan cara memilih pendapat yang lebih maslahat dan lebih baik. Sebagai contoh, dalam konteks poligami, yang secara hukum diperbolehkan, namun pendekatan irfani mengarah pada pemilihan beristri satu jika tidak dapat berlaku adil.
Dalam masalah qishash, irfani mendorong untuk memaafkan sebagai pilihan yang lebih baik daripada membalas pembunuhan. Dalam ibadah, pendekatan irfani tercermin dalam melakukan ibadah yang memiliki dasar jelas dan lebih utama.
Ketiga, Irfani sebagai Zuhd dan Wara’. Kedua konsep ini memainkan peran penting dalam membimbing individu menuju pemahaman spiritual yang lebih dalam. Zuhud diartikan sebagai pembebasan hati dari keterikatan yang berlebihan pada harta benda.
Ini dapat diwujudkan melalui amalan-amalan tanpa terikat dengan hasil, perkataan tanpa ketamakan, dan kemuliaan tanpa kekuasaan. Zuhud mengarah pada sikap yang menjauhi hal-hal yang dilarang dalam ajaran Islam.
Hadis Riwayat Ibnu Majah menyampaikan petuah Rasulullah saw terkait zuhud: “Zuhudlah terhadap dunia maka engkau akan dicintai Allah, dan zuhudlah terhadap apa yang ada pada manusia maka engkau akan dicintai manusia.”
Konsep zuhud mengajarkan penghormatan terhadap nilai-nilai yang lebih tinggi daripada kepentingan duniawi semata.