Sementara itu, wara’ mencakup kemampuan bertindak untuk menghindari perkara syubhat dan hal-hal yang bertentangan dengan hati nurani.
Perkara syubhat, yang dapat menyebabkan keraguan dan mengarah pada yang haram, merupakan fokus dalam pendekatan wara’.
Hadis yang disampaikan oleh Bukhari dan Muslim menyatakan:
“Sesungguhnya yang halal itu jelas, dan yang haram itu jelas. Dan di antara keduanya terdapat perkara-perkara syubhat (samar-sama) yang tidak diketahui oleh kebanyakan orang. Barangsiapa menjaga dirinya dari barang syubhat, ia telah berlepas diri (demi keselamatan) agama dan kehormatannya. Dan barangsiapa yang terjerumus ke dalam syubhat, ia pun mudah terjerumus ke dalam yang haram.”
Adapun perbuatan yang bertentangan dengan hati nurani, seperti yang disampaikan dalam hadis At-Tirmidzi: “Tinggalkan apa yang meragukanmu dan lakukan yang tidak meragukan. Sesungguhnya kejujuran itu merupakan ketenangan, sedangkan kedustaan merupakan keraguan.”
Contoh penerapan metode irfani sebagai zuhud dan wara’ adalah ketika menunaikan salat dengan menggunakan pakaian yang tidak sekadar memenuhi batas minimal ketentuan menutup aurat, tetapi juga menggunakan pakaian rapi yang menutup aurat secara maksimal.
Pendekatan ini menekankan pada kehormatan dalam beribadah, menunjukkan bahwa menghadap manusia pun harus dilakukan dengan penuh kesopanan, apalagi ketika menghadap Sang Pencipta manusia.
Demikianlah paparan mengenai dimensi irfani dalam Muhammadiyah, sebuah perjalanan makna yang mengajak kita melampaui batas teks dan kaidah logika.
Irfani, sebagai pendekatan spiritual, bukan hanya mencari pemahaman keagamaan, tetapi juga membawa kita pada eksplorasi diri dan keseimbangan hakiki.
Meskipun masih dalam proses pencarian rumusan, Muhammadiyah terus menggali potensi irfani sebagai sumber inspirasi, membentuk wacana yang patut dikembangkan dalam identitas keagamaan mereka. (*/tim)
Untuk mendapatkan update cepat silakan berlangganan di Google News