Dalam penentuan awal bulan Kamariah, hingga kini Muhammadiyah menggunakan metode Hisab Hakiki Wujudul Hilal. Di antara banyak tokoh ahli falak Muhammadiyah, satu nama muncul sebagai pelopor yang memperkenalkan metode ini di lingkungan Persyarikatan—Wardan Diponingrat (1911-1991).
Lahir di Kampung Kauman, Yogyakarta, pada Jumat, 19 Mei 1911, dan meninggal dunia di Yogyakarta pada 3 Februari 1991, Wardan telah menjadi pionir dalam memperkenalkan metode hisab hakiki wujudul hilal yang hingga kini menjadi standar dalam Muhammadiyah untuk menentukan awal bulan kamariah.
Sejak tahun 1960, Wardan aktif sebagai anggota Majelis Tarjih. Berkat keahliannya dalam ilmu agama, khususnya di bidang falak, pada Muktamar Muhammadiyah ke-35 tahun 1962 di Jakarta, ia dipercaya menjadi ketua Majelis Tarjih tingkat pusat. Selama 22 tahun, dari 1963 hingga 1985, Wardan dengan dedikasi tinggi mengabdikan dirinya di Majelis Tarjih, di mana ia memiliki ruang untuk mengaplikasikan temuannya dalam bidang astronomis.
Wardan merintis metode ini sebagai respons terhadap ketidakpuasannya terhadap model penentuan awal bulan kamariyah konvensional, yang lebih dikenal dengan hisab ‘urfi. Ia menentang ide bahwa perhitungan kalender harus didasarkan pada peredaran rata-rata Bulan mengelilingi Bumi, seperti yang terjadi pada perhitungan awal bulan kalender Masehi.
Keberatan Wardan terhadap hisab ‘urfi terutama muncul karena awal bulan kamariyah dalam sistem ini tidak selalu bersesuaian dengan munculnya Bulan di langit. Dalam arti lain, awal bulan bisa lebih cepat, bersamaan, atau bahkan terlambat dari kemunculan Bulan di langit.
Wardan menyakini bahwa penentuan awal bulan kamariyah seharusnya berdasarkan pada perhitungan posisi faktual matahari, bulan, dan bumi, dikenal sebagai hisab hakiki. Artinya, metode hisab hakiki dilakukan dengan memperhatikan gerak sesungguhnya Bulan di langit, sehingga awal dan akhir bulan kamariyah mengacu pada posisi sebenarnya Bulan di langit.
Dalam metode Hisab Hakiki Wujudul Hilal, awal bulan kamariyah dianggap dimulai ketika tanggal 29 bulan berjalan, dan pada saat matahari terbenam, tiga syarat harus terpenuhi secara bersamaan. Syarat-syarat tersebut melibatkan: 1) terjadinya ijtimak antara bulan dan matahari; 2) ijtimak terjadi sebelum matahari terbenam; 3) dan posisi bulan berada di atas ufuk atau belum terbenam pada saat matahari terbenam.
Dengan kriteria di atas, hilal dianggap sudah terlihat jika matahari terbenam lebih awal daripada terbenamnya hilal, meskipun perbedaannya hanya kurang dari satu menit. Jika salah satu dari tiga kriteria tersebut tidak terpenuhi, maka bulan berjalan genap menjadi tiga puluh hari, dan awal bulan baru akan dimulai pada hari berikutnya.
Pakar falak Muhammadiyah, Susiknan Azhari, menyatakan bahwa metode Wujudul Hilal yang digagas Wardan pada saat itu merupakan sintesa antara penggunaan rukyat normatif dan konsep konjungsi semata. Rukyat normatif memberikan ketidakpastian, sementara konjungsi semata tidak mempertimbangkan hadis-hadis tentang rukyat. Dengan demikian, Wujudul Hilal menciptakan konsep “jalan tengah” yang memadukan kedua metode tersebut menjadi sebuah pendekatan yang menggabungkan unsur rukyat murni dan konjungsi semata.
Susiknan menambahkan bahwa selaku pemimpin Majelis Tarjih, Wardan memiliki peran penting dalam merumuskan fondasi konsep Wujudul Hilal, yang kemudian menjadi panduan Muhammadiyah dalam menetapkan awal bulan kamariah. Konsep ini terus dipertahankan dan diaplikasikan hingga saat ini.
Seiring dengan sifat progresif Muhammadiyah sebagai organisasi yang dinamis, konsep Wujudul Hilal terus dievaluasi secara teknis dan penggunaan data yang sesuai dengan tuntutan zaman. Penggunaan Kalender Islam Global ke depan sebagai upaya pengembangan Wujudul Hilal. (*/tim)
Untuk mendapatkan update cepat silakan berlangganan di Google News