Muamalat mengacu kepada perlindungan keturunan dan harta, juga perlindungan terhadap akal. Sedangkan jinayat mengacu kepada amar ma’ruf dan nahi mungkar.
2. Hajiyyat berada sedikit di bawah level dharuriyyat, yaitu segala sesuatu yang sangat penting bagi perlindungan hak yang dimaksud, tapi tidak sedemikian darurat. Berbeda dengan dharuriyyat, jika hajiyyat tidak terpenuhi, maka hak tersebut masih bisa terlindungi, kendatipun sangat lemah.
Hajiyyat berlaku pada ibadah, adat, muamalat, dan jinayat. Ibadah; seperti dispensasi bagi orang sakit untuk tidak berpuasa di bulan Ramadan. Adat; seperti dibolehkannya berburu dan mengkonsumsi makanan yang halal.
Muamalat; seperti jual beli, penanaman modal dan semacamnya. Jinayat; mengenakan denda bagi pembunuh yang berakal.
3. Tahsiniyyat adalah hal-hal yang tidak mendesak dan tidak sangat penting bagi perlindungan hak. Namun jika terpenuhi, tahsiniyyat akan menyempurnakan pelaksanaan hak-hak yang lain. Seperti dharuriyyat dan hajiyyat, tahsiniyyat juga mengacu kepada empat hal tadi.
Ibadah; seperti menghilangkan najis, menutup aurat, melakukan banyak nawafil untuk mendekatkan diri kepada tuhan, serta shadaqah dan semacamnya. Adat; seperti menjaga kesopanan ketika makna dan minum, manjauhi makanan dan minuman yang najis.
Muamalat; seperti larangan menjual barang-barang najis, larangan terhadap perempuan untuk menjadi imam salat, dan melarangnya untuk menikahkan dirinya sendiri tanpa seorang wali.
Jinayat; seperti larangan bagi orang merdeka untuk membunuh hamba sahaya, larangan membunuh perempuan, anak kecil dan pendeta ketika perang.
Kedua, cara memahami maqashid syariah; menurut al-Syatibi karena syariah dalam agama Islam berbahasa Arab sebagaimana tertuang dalam Alquran, maka tidak ada cara lain memahami dan mengetahui maqashid syariah tersebut kecuali dengan mengerti dan memahami gramatikal bahasa Arab (Al-Syatibi, 1978:324).
Ketiga, pembenaan maqashid syariah untuk mukallaf; dalam konteks ini al-Syatibi membahas tujuan pembebanan syariah serta batas dari taklif yang dibebankan Allah terhadap hamba-Nya. Dari semua aspek pembebanan mengkrucut dalam dua hal:
a. Pembebanan yang tidak dapat dilakukan;
b. Pembebanan yang memberatkan. Terkait dengan taklif pertama termasuk yang dilarang syariah, seperti larangan makan atau minum (Al-Syatibi, 1978:109-111).