UM Surabaya

Ketiga, presiden harus menghindarkan diri dari segala bentuk pernyataan dan tindakan yang berpotensi menjadi pemicu fragmentasi sosial, terlebih dalam penyelenggaraan Pemilu yang tensinya semakin meninggi.

Keempat, meminta kepada Badan Pengawas Pemilihan Umum (Bawaslu) untuk meningkatkan sensitivitasnya dalam melakukan pengawasan, terlebih terhadap dugaan digunakannya fasilitas negara (baik langsung maupun tidak langsung) untuk mendukung salah satu kontestan Pemilu.

Kelima, menuntut kepada Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) untuk memperkuat peran pengawasan penyelenggaraan Pemilu, utamanya terhadap dugaan penyalahgunaan kekuasaan untuk kepentingan pemenangan satu kontestan tertentu.

Keenam, meminta kepada Mahkamah Konstitusi (MK) untuk mencatat setiap perilaku penyelenggara negara dan penyelenggara pemilu yang terindikasi ada kecurangan untuk dijadikan sebagai bahan/referensi memutus perselisihan hasil Pemilu.
]
Desakan Muhammadiyah sebenarnya sangat komprehensif untuk mendorong adanya kesadaran bernegara, dengan menggunakan etika, yang dimulai dari presiden.

Ketika presiden sudah tertib dalam mematuhi etika bernegara, maka akan diikuti oleh Bawaslu, DPR, MK, dan para penyelenggara pemilu lainnya.

Dari berbagai butir penyataan ini menegaskan bahwa pelanggaran etika bernegara akan melahirkan kerusakan serius dimana penyelenggara negara telah gegabah menginjak-injak tatanan politik yang seharusnya dijalankannya.

Tidak salah bila Muhammaiyah mengingatkan kepada presiden bahwa pembenaran atas kampanye presiden atas dirinya, berpotensi besar memicu polemik. Bukan tidak mungkin akan menciptakan kekisruhan di Tengah masyarakat.

Poin pelanggaran etika bernegara menarik untuk ditekankan agar semua pihak yang melakukan pelanggaran tidak kebablasan dalam pelanggaran etika.

Pernyataan Jokowi di atas seolah membenarkan “Politik Cawe-Cawe” yang selama ini telah dilakukannya. Masyarakat pun resah dan menyatakan bahwa politik cawe-cawe ini tidak lain sebagai upaya untuk menegakkan politik dinasti di negeri ini.

Politik cawe-cawe presiden itu itu tidak lepas dari mimpi presiden untuk memenangkan anaknya (Gibran) yang dicawapreskan melalui proses yang cacat. Dikatakan cacat karena menyelundupkan pasal ke dalam MK untuk memuluskan anaknya untuk lolos mencadi Cawapres.

Bolehnya kampanye presiden di atas seolah-olah ingin membenarkan langkah-langkah presiden sebelumnya untuk memuluskan Prabowo-Gibran sebagai penggantinya.

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini