*) Oleh: Dr. Achmad Zuhdi DH, M.Fil.I.
Ketua Majelis Tarjih dan Tajdid PWM Jawa Timur
Banyak orang mengira bahwa Muhammadiyah itu anti tasawuf atau anti tarekat. Anggapan ini tidak sepenuhnya salah, karena memang tidak sedikit di kalangan Muhammadiyah sendiri yang tidak simpati terhadap kedua istilah tersebut.
Mereka bahkan terkesan alergi bila mendengar kedua kata tersebut. Bila mendengar istilah tasawuf atau tarekat, yang tergambar dalam benak mereka adalah praktik-praktik ibadah yang melenceng dari syariat Islam. Mereka beranggapan bahwa para pelaku tasawuf atau tarekat itu adalah sufi-sufi yang keluar dari Islam, yang sesat dan menyesatkan.
Jika dilacak dari sejarah perkembangan tasawuf, sebenarnya kesan negatif terhadap tasawuf itu sudah muncul sejak awal adanya gerakan tasawuf itu sendiri.
Dalam kitab al-Luma’, Abu Nasr al-Sarraj al-Tusi (w.378 H) menulis bahwa sejak dulu ada anggapan negatif tentang tasawuf yang menyatakan bahwa para pengamal tasawuf itu adalah orang-orang zindiq dan orang-orang sesat.
‘Abd al-Salam (1351 H) juga mengatakan bahwa di antara orang-orang yang berpaling dari Alquran adalah al-mutasawwifah, para ahli tasawuf.
Tulisan yang terbilang baru (Riyad,1990), Laila binti Abdullah menilai tasawuf sebagai pemikiran infiltrasi yang beracun terhadap Islam.
Tasawuf banyak berlandaskan kepada bid’ah. Bid’ah-bid’ah itu mereka jadikan sebagai bentuk ber-Islam lalu mereka masukkan ke dalam Islam.(baca al-Tusi,1960, ‘Abd al-Salam, 1980 dan Binti ‘Abdillah,2003).
Baca juga: 3 Ajaran Kiai Dahlan yang Layak Dipetik Kaum Milenial
Sebagai sistem ajaran keagamaan yang lengkap dan utuh, Islam memberi tempat kepada jenis penghayatan keagamaan eksoteris (zahiriyah) dan esoteris (batiniyah) secara sekaligus.
Tekanan yang berlebihan kepada salah satu dari kedua aspek penghayatan itu akan menghasilkan kepincangan yang menyalahi prinsip ekuilbrium (tawazun) dalam Islam.
Dalam kenyataannya, banyak kaum muslimin yang pengahayatan keagamaannya lebih mengarah ke bentuk lahiriah saja (sebagai ahl al-zawahir) atau kehidupan keagamaannya hanya mengarah ke aspek batini (sehingga disebut ahl al-bawatin).
Dalam sejarah pemikiran Islam, antara kedua orientasi penghayatan keagamaan tersebut sempat terjadi ketegangan dan polemik dengan sikap-sikap saling menuduh; kelompok ahl al-bawatin dinilai telah menyeleweng dari ketentuan syariat dan sesat, sebaliknya yang dari kalangan ahl al-zawahir dinilai tidak sempurna, kaku dan kering dalam penghayatannya.
Salah seorang ulama yang dipandang berhasil merekonsiliasi antara kedua orientasi tersebut adalah Imam al-Ghazali, yang tidak hanya mementingkan salah satunya, tetapi kedua-duanya, yaitu aspek syariat dan tariqah-nya (aspek lahir dan batin).
Ketegangan tersebut, saat ini, sudah berangsur hilang. Kecuali di kalangan masyarakat tertentu, termasuk sebagian kalangan Muhammadiyah. Mereka yang masih belum bisa terima ungkapan tasawuf dan tarekat ini pada umumnya masih trauma dengan praktik-ptaktik sufi atau ahli tarekat yang pernah dipandangnya melenceng dari Islam.
Benarkah Muhammadiyah anti sufi?
Untuk menjawab persoalan ini, akan dibahas mengenai sikap ulama Muhammadiyah dalam menghayati Islam, apakah hanya mementingkan aspek lahir saja atau juga mementingkan aspek batin?
Karena keterbatasan halaman, pada makalah ini hanya menampilkan sosok dan pemikiran KH Ahmad Dahlan (W.1923 M) sebagai ulama dan pendiri Muhammadiyah.
Biografi dan Perjuangan
KH. Ahmad Dahlan memiliki nama kecil Muhammad Darwis. Ia lahir di Yogjakarta tahun 1869 dan wafat tahun 1923 M dalam usia 54 tahun. Bapaknya bernama KH Abu Bakar. Ia seorang khatib di masjid Sultan Yogjakarta. Ibunya adalah anak Haji Ibrahim, penghulu.
Setelah menyelesaikan pendidikannya di Yogjakarta mengenai Nahwu, Fiqh, dan Tafsir, ia pergi ke Mekkah tahun 1890. Di Mekkah ia tinggal selama satu tahun.
Salah seorang gurunya, Shaykh Ahmad Khatib (Imam dari madhhab Shafi’i di Masjid al-Haram. Pada tahun 1903, ia mengunjungi kembali Tanah Suci dan ia kemudian menetap di sana selama dua tahun.
Baca juga: Islam Berkemajuan Punya Rujukan Historis dari Pengajaran Kiai Ahmad Dahlan
Sekembalinya ke Tanah Air, Dahlan mulai berjuang menegakkan Islam. Ia mulai mengintrodusir cita-citanya itu dengan mengubah arah orang salat kepada kiblat yang sebenarnya (sebelumnya arah salat biasanya ke Barat).
Pada waktu yang bersamaan ia mulai pula mengorganisasi kawan-kawannya di daerah Kauman-Yogjakarta untuk melakukan pekerjaan sukarela dalam memperbaiki kondisi higienis daerahnya dengan memperbaiki dan membersihkan jalan-jalan dan parit-parit.
Dalam melaksanakan kegiatan dakwahnya, ia pernah mendapatkan tantangan dari ulama setempat, yaitu Kiai Haji Mohammad Khalil yang memerintahkan untuk merobohkan langgar yang didirikannya sesuai dengan arah kiblat yang sebenarnya itu.
Saat itu, ia hampir putus asa, tetapi kemudian keluarga dan para simpatisannya membantu membangunkan langgar untuknya dengan jaminan ia dapat mengajarkan dan mempraktikkan agama menurut keyakinannya.
Selanjutnya ia menggantikan posisi ayahnya sebagai khatib di masjid Sultan. Saat itu Dahlan telah diakui sebagai seorang ulama oleh kiai-kiai lain.
Karena kelurusannya dan kesungguhannya dalam bekerja, ia mendapatkan julukan Ketib Amin (khatib yang diandalkan). Tindakan penghulu untuk menghancurkan langgar yang dibuat oleh Kiai Dahlan tadi, mungkin disebabkan oleh dua pertimbangan. Pertama, cemburu atau pun kepercayaan tradisional bahwa hanya sebuah masjid yang bisa dilakukan salat Jumat dalam satu daerah tertentu. Atau pun alasan kedua-duanya. (baca Deliar Noer, 1980)
Pada tahun 1909, Dahlan masuk Budi Utomo dengan tujuan memberikan pelajaran agama kepada anggota-anggotanya. Dengan jalan ini ia berharap akan dapat memberikan pelajaran agama di sekolah-sekolah pemerintah, oleh sebab anggota-anggota Budi Utomo itu pada umumnya bekerja di sekolah-sekolah yang didirikan pemerintah dan juga di kantor-kantor pemerintah.
Dia pun mempunyai harapan agar guru-guru sekolah yang diajarnya itu sendiri dapat meneruskan isi pelajarannya kepada murid-murid mereka pula.
Pelajaran-pelajaran yang diberikan oleh Dahlan kelihatannya memenuhi harapan dan keperluan anggota-anggota Budi Utomo tadi. Oleh karena itu mereka kemudian menganjurkan kepada Dahlan agar membuka sebuah sekolah sendiri, yang diatur dengan rapi dan didukung oleh organisasi yang bersifat permanen untuk menghindarkan nasib kebanyakan pesantren tradisional yang terpaksa ditutup lantaran kiainya meninggal.
Dari gagasan tersebut maka didirikanlah Muhammadiyah pada tahun 1912 di Yogjakarta. Organisasi ini mempunyai cita-cita: “Menyebarkan pengajaran Kanjeng Nabi Muhammad Saw kepada penduduk bumiputera dan memajukan hal agama Islam kepada anggota-anggotanya”.
Sambil memimpin Muhammadiyah, Dahlan tetap aktif bertabligh, aktif pula mengajar di sekolah-sekolah Muhammadiyah, aktif dalam memberikan bimbingan kepada masyarakat untuk melakukan berbagai macam kegiatan seperti salat, dan dalam memberikan bantuan kepada fakir miskin dengan mengumpulkan dana dan pakaian untuk mereka.
Dari kepedulian sosial yang di contohkan oleh Dahlan ini kemudian Muhammadiyah mendirikan lembaga-lembaga sosial seperti Panti Asuhan, Penolong Kesengsaraan Umum (PKU) dan lembaga-lembaga pendidikan.
Ahmad Dahlan memimpin Muhammadiyah hanya dalam tempo 10 tahun 3 bulan, tetapi hampir satu abad kemudian, gagasan, karya, dan amal Dahlan telah mampu mengubah pola kehidupan keagamaan pemeluk Islam di negeri ini menjadi lebih fungsional.
Pengelolaan ibadah seperti zakat, haji, salat, puasa, korban bagi tujuan-tujuan sosial, selain sebagai kewajiban ritual, telah menjadi tradisi umat, bukan hanya anggota Muhammadiyah.
Baca juga: Melacak Hubungan Pendiri Muhammadiyah dan NU (Bagian 1)
Kini, hampir tidak ada pemeluk Islam di negeri ini yang tidak berminat menyekolahkan anak-anak mereka ke lembaga pendidikan modern seperti sekolah atau madrasah hingga pendidikan tinggi.
Dulu, khotbah Jumat di masjid-masjid yang tidak disampaikan dalam bahasa Arab dianggap tidak sah, kini hampir di semua pelosok negeri ini khotbah-khotbah dapat disampaikan dengan bahasa Indonesia dan bahasa-bahasa daerah setempat.
Gagasan dan Pemikiran
KH. Ahmad Dahlan memang tidak banyak meninggalkan karya tulis, kecuali dua buah dokumen yang disampaikan dalam kongres Islam ke-1 di Cirebon pada tahun 1921 M dan transkrip pidato terakhirnya dalam Kongres Muhammadiyah bulan Desember tahun 1922 M, beberapa bulan sebelum wafatnya, pada bulan Februari 1923 M.
Dari dua dokumen tersebut dapat diketahui bagaimana gagasan dan pemikiran Dahlan tentang Islam, ilmu pengetahuan, masyarakat dan pendidikan. Dari kedua dokumen itu pula dapat ditemukan gagasan sufistik dalam rumusan kalimat yang bernuansa batiniah seperti Islam sejati, akal suci, hati suci, dan Qur’an suci.
Dalam prasaran Muhammadiyah pada Kongres Islam ke-1 tahun 1921 di Cirebon dinyatakan bahwa: “Jalan yang betul itu ialah Islam sejati. Islam sejati itu ada dua bagiannya, yakni lahir dan batin. …Persatuan Islam itulah yang harus kita tuju, supaya orang Islam dapat hidup secara Islam, menurut rancangan yang hukum-hukumnya sudah sempurna terpaku dalam al-Qur’an suci. ….bahwa hidup orang Islam harus berasaskan Qur’an….Beribadah kepada Allah, tiada dengan perantaraan antara manusia dengan Allah”.(baca Mulkhan, 2003)
Pemikiran KH. Ahmad Dahlan juga bisa dilihat dari kutipan ringkas berikut ini: “Sebagian besar pemimpin belum menaruh perhatian kepada kebaikan dan kesejahteraan manusia, akan tetapi baru memperhatikan kaum dan golongannya sendiri bahkan badannya sendiri.
Baginya, pemimpin yang bersedia berjuang bagi kesejahteraan seluruh manusia, tidak terbatas kelompoknya sendiri ialah…orang-orang yang benar-benar menemukan hal-hal yang baik bagi sebagian besar orang serta mereka berpikir secara dalam dan luas…dalam menentukan baik-buruk, betul-salah, hanyalah hukum yang sah dan hati yang suci….selain hati suci, ia juga menyebut fungsi akal pikiran yang suci. Yakni menurutnya, pembuatan keputusan yang bukan keputusan yang dibuat sendiri.
Dalam hal ini ia berpendapat, suatu pengetahuan hanya akan bermanfaat jika direalisasi sesuai keadaan, dan bahaya besar akan dihadapi jika setiap persoalan tidak dipecahkan dengan hati yang suci atau pikiran yang suci.(baca Mulkhan, 1990).
Dalam Kongres 1922, KH. Ahmad Dahlan menyatakan: “Untuk memimpin kehidupan seharusnya mempergunakan satu metode kepemimpinan, yaitu al-Qur’an….seluruh manusia harus bersatu hati mufakat yang disebabkan karena segala pembicaraan memakai hukum yang sah dan hati yang suci…untuk mencapai maksud dan tujuan harus dengan mempergunakan akal yang sehat….tidak ada gunanya pangkat yang tinggi kecuali dengan hati yang suci.
KH. Ahmad Dahlan dalam Sidang Tahunan 1922, menyatakan bahwa kehidupan dunia-akhirat harus dicapai dengan pengetahuan yang benar dari hasil penelitian.
Kecerdasan ialah kemampuan mengatasi penderitaan disertai selalu ingat kepada Tuhan. Dalam Kongres Islam di Cirebon, Dahlan menyatakan, karena persamaan kedudukan, tidak perlu perantara dalam ibadah.
Baca juga: Melacak Hubungan Pendiri Muhammadiyah dan NU (Bagian 2)
Untuk itu, manusia harus bekerja sama dengan semua pihak, walaupun berbeda agama. Perubahan kehidupan manusia dan alam bersifat kausal seperti temuan penelitian.
Bagi Dahlan, kesalehan ialah pencarian kebenaran tanpa final, terbuka berdialog dengan semua pihak yang berbeda. Keputusan adalah benar jika:
(a) paling kecil pertentangannya
(b) mendengar, membanding dan menimbang segala pendapat,
(c) sesuai akal dan hati suci
Keikhlasan adalah dasar hidup sosial dan mencapai tujuan berdasarkan teori dan ketrampilan. Kebahagiaan adalah sikap ikhlas, tidak lupa kematian, dan ilmu sebagai kunci kemajuan dan kebahagiaan bersama.
Beberapa komentar dari para peneliti tentang gagasan dan pemikiran Dahlan dari kedua dokumen tersebut menyimpulkan, di antaranya Yunus Salam mengatakan bahwa KH Ahmad Dahlan memandang ketaatan syariat sebagai hasil ketaatan batiniah.
Farid Ma’ruf bahkan menyatakan bahwa keagamaan Kiai Ahmad Dahlan seperti sufinya Imam al-Ghazali. Apa yang dikemukakan oleh Ma’ruf bahwa keagamaan Dahlan sama dengan sufinya Imam al-Ghazali ini barangkali yang dimaksud adalah bahwa Dahlan sangat memperhatikan aspek batiniah di samping aspek syariat sebagaimana al-Ghazali juga mementingkan aspek syariat di samping tarekat. (baca Salam, 1968 dan Ma’ruf, 1964)
Jainuri, dari hasil penelitiannya menyimpulkan bahwa pandangan Kyai Haji Ahmad Dahlan itu sebagai relativis dan pluralis yang meletakkan hati suci jauh lebih penting dari lembaga formal. Organisasi bagi Dahlan adalah instrumen pengembangan kesalehan hati suci itu. (baca Jainuri, 1997)
Jika dicermati lebih dalam, apa yang digagas oleh KH. Ahmad Dahlan dalam pidato-pidatonya itu, sebenarnya tampak jelas kesadaran sufistiknya. Istilah Islam sejati, akal suci, hati suci, dan Qur’an suci adalah gambaran tentang pentingnya aspek batin dalam mengamalkan agama.
Memang tidak banyak atau hampir tidak ada istilah-istilah teknis dalam tradisi sufi yang muncul dari seluruh pemikirannya. Beberapa kandungan pidato yang pernah disampaikan Dahlan dapat disari sebagai berikut:
1. Mengamalkan ajaran Islam tidak cukup dari aspek syariat (eksoteris)nya saja, akan tetapi harus juga memperhatikan aspek batin (esoteris)nya
2. Setiap amalan dan segala bentuk perjuangan harus dilandasi hati yang suci, bersih (ikhlas) semata karena Allah Swt
3. Dalam hidup bermasyarakat tidak boleh mementingkan diri sendiri, tetapi harus mengutamakan orang lain (ithar)
4. Setiap memegang jabatan atau kekuasaan harus didasari dan disadari sebagai amanah dari Allah, karena tidak ada artinya memegang jabatan yang tinggi jika tidak dilandasi hati yang suci, untuk mendapatkan rida-Nya
5. Setiap menghadapi kesulitan hidup harus selalu ingat kepada Allah (dhikr), dan dengan pikiran yang cerdas
6. Dalam usaha meraih kesuksesan dan kebahagiaan hidup di dunia jangan sampai lupa bahwa hidup di dunia ini sifatnya sementara, masih ada kehidupan yang kekal, yaitu di akhirat
7. Dalam melakukan pendekatan diri kepada Allah (taqarrub ila Allah), tidak perlu pakai perantara, karena di hadapan Allah semua manusia itu sama, dan Allah sudah menyatakan bahwa Allah itu sangat dekat (qarib) dengan hamba-Nya.
Dari tujuh hal yang disampaikan oleh KH. Ahmad Dahlan tersebut, agaknya selaras dengan apa yang telah disampaikan oleh para tokoh sufi seperti al-Junaid yang mengatakan bahwa tasawuf artinya engkau berada semata-mata bersama Allah tanpa keterkaitan dengan apa pun.
Kemudian kata al-Misri bahwa orang-orang sufi adalah mereka yang mengutamakan Allah di atas segala-galanya.
Kata al-Suyuti bahwa sufi itu adalah seseorang yang terus-menerus melakukan penyucian hati dalam berhubungan dengan Allah dan berbuat baik kepada makhluk.
Dan kata al-Ghazali bahwa sufi itu adalah orang yang selalu berusaha membersihkan diri dari segala kotoran melalui penyucian hati dengan tujuan untuk mendekatkan diri (taqarrub) kepada Allah Swt .
Baca juga: Kiai Hisyam, Sang Kreator Pendidikan Muhammadiyah
Penutup
Menjawab pertanyaan apakah Muhammadiyah anti tasawuf atau tidak, dapat dicermati melalui pokok-pokok pikiran yang bernuansa sufistik, yang dikemukakan oleh KH. Ahmad Dahlan (ulama dan pendiri Muhammadiyah).
KH. Ahmad Dahlan menyatakan bahwa Islam yang sejati itu mengandung dua hal, yaitu unsur lahir dan unsur batin. Pernyataan ini menunjukkan bahwa ulama Muhammadiyah tidak hanya mementingkan aspek eksoteris (yang biasanya dikaji dalam wilayah ilmu syariat atau ilmu fiqh), tetapi juga aspek esoteris (yang biasanya dikaji dalam wilayah ilmu tasawuf).
Dalam banyak kesempatan bahkan ia menekankan betapa pentingnya hati suci dan akal suci dalam setiap tindakan dan menyelesaikan masalah. Bagi Dahlan, tidak ada gunanya pangkat dan jabatan yang tinggi kecuali dengan hati yang suci.
Dari gagasan-gagasan tersebut dapat diketahui bahwa Muhammadiyah tidak anti tasawuf. Muhammadiyah sebenarnya sangat mendukung dan mementingkan hidup bertasawuf.
Tasawuf yang dipedomani haruslah berlandaskan kepada Alquran dan Sunah Rasulullah Saw, artinya dalam praktik amaliahnya harus melalui peribadatan yang resmi (mashru’).
Kehidupan tasawuf, sungguh pun mementingkan aspek batin (esoteris), dalam praktiknya harus berimplikasi pada kehidupan sosial, seperti peduli kepada kaum duafa, peduli dan mementingkan orang lain (ithar), dan tak pernah berhenti berjuang menegakkan kebenaran dan keadilan sesuai petunjuk dari Allah dan Rasul-Nya. (*)
DAFTAR KEPUSTAKAAN
‘Abd al-Salam, Muhammad Ahmad. al-Sunan wa al-Mubtada’at al-Muta’alliqat bi al-Adhkar wa al-Salawat. Bayrut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyah, 1980.
Binti Abdullah, Laila. Ancaman Sufisme terhadap Isla>m, terj. Aris Munandar. Yogjakarta: Tajidu Press, 2003.
Dahlan, Ahmad. “Kesatuan Hidup Manusia” dalam Abdul Munir Mulkhan, Pemikiran KH.Ahmad Dahlan dan Muhammadiyah. Jakarta: Bumi Aksara, 1990.
Damami, Mohammad. Tasawuf Positif. Jogjakarta: Fajar Pustaka Baru, 2000.
al-Ghazali, Abu Hamid Muhammad b. Muh}ammad. Ihya> ‘Ulum al-Din,Vol.V. Bayrut: Dar al-Ma’rifah,tt.
Haeri, Fadllalla. Dasar-Dasar Tasawuf, terj. Tim Forstudia. Yogjakarta: Penerbit Pustaka Sufi, 2003.
Ibn Khaldun, ‘Abd al-Rahman. Muqaddimah Ibn Khaldun. TT: Dar al-Fikr, tt.
Ibn Taymi>yah. Majmu>’ al-Fata>wa>, Vol.11. TT:tp,tt.
Jainuri, Ahmad. The Formation of Muhammadi>yah Ideology 1912-1942. (Montreal: The Institute of Islamic Studies MacGill University, 1997.
Kamal, Musthafa Pasha dan Ahmad Adabi Darban. Muhammadiyah sebagai
Gerakan Islam dalam Perspektif Historis dan Ideologis. Yogjakarta: LPPI, 2002.
al-Kurdi>, Muhammad Amin. Tanwir al-Qulub Fi Mu’amalat ‘Alla>m al-Ghuyub. (tt: Dar al-Fikr, 1994.
Ma’ruf, Farid. Analisa Achlak dalam Perkembangan Muhammadiyah. Yogjakarta: Yogjakarta Offset, 1964.
Madjid, Nurcholis. Islam Doktrin dan Peradaban. Jakarta:Yayasan Wakaf Paramadina, 1995.
Nasution, Harun. Falsafat dan Mistisisme Dalam Islam. Jakarta: Bulan Bintang, 1978.
Noer, Deliar. Gerakan Modern Islam di Indonesia 1900-1942. (Jakarta: LP3ES, 1980.
al-Qushayri, Abu al-Qa>sim ‘Abd al-Karim b. Hawazin. al-Risalah al-Qushayriyah Fi ‘Ilm al-Tas}awwuf. TT: Dar al-Khayr, TT.
Salam, Junus. KH.A.Dahlan, Amal dan Perdjoeangannja. Jakarta: Depot Pengajaran Muhammadiyah, 1968.
Syukur, HM. Amin. Tasawuf Kontekstual. Yogjakarta: Pustaka Pelajar, 2003.
Tim Penyusun. Pergumulan Tokoh Muhammadiyah Menuju Sufi. Surabaya: Hikmah Press, 2003.
al-Tusi, Abu Nasr al-Sarraj. al-Luma’ . Mesir: Dar al-Kutub al-Hadithah, 1960.