Catur Dan Raja Yang Terdesak
Ma'mun Murod Al-Barbasy

*) Oleh: Ma’mun Murod Al-Barbasy,
Rektor Universitas Muhammadiyah Jakarta

Anda pernah bermain catur? Atau setidaknya menonton orang bermain catur? Insya Allah pasti pernah melakukan salah satunya.

Kalau Anda perhatikan dengan seksama permainan catur, ada filosofi yang cukup menarik terkait masalah kepemimpinan, lho?

Dalam permainan catur, gerak Sang Raja itu sangat terbatas. Sang Raja hanya boleh bergerak selangkah ke depan, belakang, samping kanan atau kiri.

Tak boleh bergerak melebihi satu langkah. Sementara para bidak, benteng, kuda, gajah, dan terutama menteri  boleh bergerak melebihi pergerakan Sang Raja.

Kenapa demikian? Karena Sang Raja harus dijaga kewibawaannya. Sang Raja tak boleh bergerak seenak dan sesukanya sendiri. Gerak Sang Raja harus sejalan dengan aturan dan etika. Karena dalam diri Sang Raja melekat harga diri (marwah) kerajaan.

Lazimnya dalam permainan catur, para bidak akan selalu maju untuk dikorbankan terlebih dahulu dalam setiap penyerangan atau menerima serangan.

Bidak yang masih hidup hingga pertempuran selesai hanya karena keberuntungan saja.

Sembari bidak dikorbankan, melakukan atau menerima serangan, maka benteng, kuda, gajah, dan menteri akan ramai-ramai membentengi atau mengamankan kedudukan, posisi atau tahta Sang Raja.

Pokoknya tugasnya adalah memastikan sebisa mungkin agar Sang Raja tidak tersentuh oleh serangan musuh sama sekali.

Nah, Sang Raja tentu akan merasa aman bila dilindungi oleh bidak, benteng, kuda, gajah, dan menteri yang kuat. Namun bila pelindung dan pengawal Sang Raja mulai melemah, maka serangan akan dengan mudah mengenai atau menyentuh Sang Raja.

Dalam permainan catur, Sang Raja mulai merasa terancam bila sudah tidak merasa nyaman tinggal di Istananya. Sang Raja mulai berpindah-pindah tempat.

Ketika Sang Raja sudah mulai keluar dari singgasana kerajaan dan bahkan sudah mulai ikut-ikutan melakukan serangan, biasanya karena pertahanannya sudah mulai oleng.

Bidak, benteng, kuda, dan gajah mulai bertumbangan satu per satu, karena tak mampu melakukan kerja penjagaan atau pengawalan dengan baik terhadap Sang Raja.

Kalau kondisinya sudah seperti ini, maka tak ada pilihan lain kecuali Sang Raja harus turun gelanggang membantu melakukan penyerangan.

Biasanya kalau pertahanannya sudah terdesak, Sang Raja pun bisa melakukan apa saja. Keluar Istana, mengepung kota, dan bahkan juga mengepung desa sembari meminta para bidak, benteng, kuda, gajah, dan menterinya yang masih hidup untuk terus berjuang dan melindungi Sang Raja.

Tentu ini kerja yang sangat berisiko bagi Sang Raja. Akibatnya bisa fatal, Sang Raja tumbang atau lengser.

Dan dalam permainan catur, Sang Raja bisa saja terdesak atau bahkan tumbang hanya oleh sebuah bidak lho. (*)

Untuk mendapatkan update cepat silakan berlangganan di Google News

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini