Maksud dari kafir di sini bukanlah makna kiasan, tetapi makna sesungguhnya yaitu lawan dari iman atau tidak beriman lagi dengan agamanya. Al-Qurthubi menjelaskan hal ini, beliau berkata:
ولا إحالة ولا بعد في حمل هذا الحديث على ظاهره، لأن المحن والشدائد إذا توالت على القلوب أفسدتها بغلبتها عليها، وبما تؤثر فيها من القسوة و الغفلة التي هي سبب الشقوة
“Bukan tidak mungkin untuk memaknai hadis ini dengan makna zahirnya (benar-benar kafir), karena ujian dan fitnah apabila datang berturut-turut akan merusakn hati dan mengalahkannya. Akan memberikan pengaruh/dampak berupa kerasnya hati, kelalaian yang merupakan sebab kebinasaan.” (Al-Mufhim 1/326)
Hadis di atas juga memotivasi kita agar bersegera untuk beramal sebelum datang waktu di mana kita tidak mampu beramal lagi seperti sakit parah mendadak atau kematian mendadak yang cukup banyak terjadi di zaman ini.
Para ulama memperingatkan kita bahwa zaman ini adalah zamannya fitnah dan ujian serta sibuknya manusia dengan urusan dunianya yang melalaikan.
Dua sumber utama fitnah yaitu syubhat dan syahwat sangat mudah menyambar manusia di era internet dan sosial media saat ini.
Fitnah tersebut perlahan-lahan akan mengeraskan hati sebagaimana tikar yang dianyam.
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
تُعْرَضُ الْفِتَنُ عَلَى الْقُلُوبِ كَالْحَصِيرِ عُودًا عُودًا
“Fitnah-fitnah akan mendatangi hati bagaikan anyaman tikar yang tersusun seutas demi seutas”. (HR.Muslim no 144)
Nilai umur seseorang tidak terletak pada kuantitasnya, melainkan kualitas dan keberkahannya.
Bagi orang beriman, usia adalah durasi hidup yang diberikan Allah SWT untuk beribadah. Namun, manusia umumnya cenderung lalai dari mengingat dosa dan kesalahan. Padahal, Allah Mahateliti lagi Maha Menyaksikan.
Tobat merupakan jalan untuk menghapus dosa dan kesalahan yang pernah dilakukan. “Wahai orang-orang yang beriman! Bertobatlah kepada Allah dengan tobat yang semurni-murninya, mudah-mudahan Tuhan kamu akan menghapus kesalahan-kesalahanmu.” (QS at-Tahrim: 8).
Selagi masih diberi jatah usia, manfaatkanlah waktu di dunia untuk memperbanyak istighfar.
Dan, jangan berputus asa dari rahmat dan ampunan Allah. Sebab, Dia menyukai hamba-hamba-Nya yang bersegera dalam bertobat.
“Sungguh, Allah menyukai orang yang tobat dan menyukai orang yang menyucikan diri” (QS al-Baqarah: 222).
Mengutamakan akhirat tidak berarti mengabaikan dunia. Ibaratnya, akhirat adalah padi, sedangkan dunia itu rumput.
Tanamlah padi, maka rumput akan tumbuh di sekitarnya. Bila menanam rumput belaka, jangan harap akan tumbuh padi di dekatnya.
Maknanya, fenomena dunia bagi orang-orang saleh itu datang tanpa perlu diundang. Mereka meyakini, Allah mencukupkan rezeki bagi hamba-hamba-Nya di dunia.
Karena itu, tak ada rasa gundah-gulana dalam hatinya mengenai perkara-perkara duniawi.
Islam mengajarkan keseimbangan. Jangan sampai seorang Muslim melupakan bagiannya yang halal dan baik di dunia.
“Dan carilah (pahala) negeri akhirat dengan apa yang telah dianugerahkan Allah kepadamu, tetapi janganlah kamu lupakan bagianmu di dunia dan berbuat baiklah (kepada orang lain) sebagaimana Allah telah berbuat baik kepadamu, dan janganlah kamu berbuat kerusakan di bumi” (QS al-Qasas: 77). (*/tim)
Untuk mendapatkan update cepat silakan berlangganan di Google News