Adapun pandangan imam al-Syatibi mendefinisikan maslahat adalah sebagai hal yang menunjang tegaknya hidup manusia yang makmur sentosa, serta terpenuhi segala kebutuhan dasar manusia (akal dan biologisnya) sehingga manusia di dunia dapat hidup layak. Maslahat dalam penuturan al-Syatibi pada intinya mengarah tegaknya pilar-pilar kehidupan, bukan sebaliknya, yakni menghancurkan sendi-sendi kehidupan (Al-Syatibi, 1978:25).
Al-Syatibi membagi maslahat menjadi dua, yaitu maqashid syari’/ maksud dari syari’ (pembuat syariah itu sendiri) dan maqashid mukallaf/maksud dari seorang mukallaf.
Dengan demikian, logika kebenaran yang digunakan maqasid al-syariah adalah bagaimana memahami dan memenuhi titah Allah sebagai syari’. Baik yang berbentuk perintah maupun larangan dengan kata lain maqasid al-syariah haruslah berada dalam koridor teosentris.
Konsekuensinya, segala hal yang tidak berkesesuaian dengan teosentris itu, maka bisa dikatakan tidak logis dan tidak diterima meskipun dapat dinalar dengan baik.
Oleh karena itu, al-Syatibi selalu menegaskan bahwa ketika teks dengan nalar pada akhirnya harus dihadapkan pada pilihan yang sulit maka nalar harus bersifat komplemen terhadap teks karena kesewenang-wenangan akal tidak sesuai dengan fitrah agama.
Melihat apa yang telah di paparkan oleh imam al-Ghazali dalam bukunya al-Mustashfa’ dan imam al-Syatibi dalam bukunya al-muwafaqat tampak bahwa bagaimanapun berbedanya konsep maqasid al-syariah dalam Islam bertemu dalam satu prinsip dari al-Mafasid Wa Jalbu’l-Mashalih, yang teosentris. (*)
Untuk mendapatkan update cepat silakan berlangganan di Google News