Pertama, sebab. Alasan, latar belakang, motivasi, dan segala hal yang mendorong seseorang melakukan ibadah. Walaupun ibadahnya tepat dan benar seperti melakukan salat tahajud.
Akan tetapi jika hanya melakukan salat tahajud di malam-malam tertentu saja, dan tidak melakukannya di selain malam-malam tersebut karena menganggap malam-malam tersebut memiliki fadhilah yang berbeda atau lebih berdasar keterangan atau dalil yang tidak kuat, maka itu termasuk sebagai bid’ah.
Tentu saja itu berbeda dengan seseorang yang salat tahajud-nya selang-seling karena pekerjaannya, atau tidak mampu, atau salat tahajud lebih lama dan maksimal di malam-malam Lailatul Qadar.
Malam-malam di bulan Ramadhan dan Lailatul Qadar memiliki dasar yang menunjukkan pada fadhilah tertentu yang sahih dan jelas.
Kedua, jenis. Contoh termudah untuk menjelaskan terkait jenis yang menjadikan sesuatu perbuatan biasa menjadi bid’ah adalah ketika seseorang menyembelih ayam, bebek dan hewan lain untuk turut melakukan ibadah menyembelih hewan kurban di Hari Raya Idul Adha dan aqiqah.
Adapun jika seseorang menyembelih ayam, misalnya bertepatan dengan Hari Raya Idul Adha tetapi dengan niat untuk lauk makanannya pada hari itu, maka tidak termasuk sebagai bid’ah.
Ketiga, jumlah. Dalam hal ini jumlah sesuatu pada sebuah ibadah yang telah ditentukan dengan dalil yang jelas dan tepat.
Karena sebagian ibadah jumlahnya memang tidak ditentukan jelas, tetapi dianjurkan untuk memperbanyak mengamalkannya, seperti zikir dan doa.
Sedangkan ibadah yang sudah ditentukan jumlahnya dengan jelas, akan tetapi ditambah atau dikurangi dengan inisiatif sendiri termasuk bid’ah.
Seperti salat Subuh lima rakaat, salat isya satu rakaat. Tentu berbeda ketika seseorang lupa dengan rakaatnya karena lupa dan semisalnya, itu termasuk kelalaian dan bukan bid’ah.