Dalam pikiran orang sekarang, tindakan Umar melarang anaknya dicalonkan sebagai khalifah dianggap tidak demokratis dan melanggar hak asasi manusia.
Namun, anggapan itu tidak sesuai dengan kehidupannya secara umum. Ia sering sekali dikritik. Alih-alih memarahi pengritik, ia justru merubah kebijakannya mengikuti aspirasi pengkritik.
Diceritakan, seorang perempuan yang merintih di tengah malam dalam senandung menggugat keadilan Umar.
Karena kebijakan Umar, ia mesti berpisah berbulan-bulan dari suaminya yang menjalankan tugas ketentaraan.
Segera ia kumpulkan para isteri. Dari saran mereka ia memutuskan bahwa seorang suami yang terpaksa berpisah dari istri karena menjalankan tugas, penugasannya tidak boleh lebih dari empat bulan.
Pernah pula Umar melindungi hak asasi seorang Yahudi dalam kepemilikan lahan. Gubernur Mesir, Amr bin al-‘Ash, bermaksud memperluas bangunan masjid yang untuk itu mesti membebaskan lahan di samping masjid itu.
Bukan soal agama, tetapi kebetulan lahan itu milik seorang Yahudi. Berkali-kali Amr melakukan negosiasi dengan pemilik lahan tetapi pemilik lahan kukuh tidak mau melepaskan haknya atas tanah itu.
Amr tidak punya jalan lain untuk meneruskan upaya perluasan masjid selain penggusuran secara paksa. Ketika menerima pengaduan dari pemilik lahan, Umar langsung memerintahkan Amr untuk mengembalikan hak atas lahan kepada orang Yahudi itu.
Dalam sebuah pemerintahan yang masih sangat muda—di tengah kawasan yang telah memiliki peradaban, Persia dan Romawi, dan wilayah yang tidak diperhitungkan, Umar telah melahirkan konsep pemerintahan yang sangat modern.
Konsep itu disebut amῑrul-mu`minῑn yang lahir sekedar untuk menyelesaikan problem sebutan kepala negara.
Abu Bakar al-Shidiq, sebagai kepala negara, disebut Khalifah Rasulullah (Pengganti Rasulullah).