Muhammadiyah Lahir untuk Mempermudah Jalani Hidup, bukan Mempersulit
Acara bedah buku Dilema Purifikasi Muhammadiyah Antara Progresivisme dan Konservatisme karya Kiai Tafsir. foto: ist

Kelahiran Muhammadiyah itu dalam rangka mempermudah umat Islam menjalani kehidupan, baik menyangkut ibadah maupun muamalah, bukan sebaliknya mempersulit dan serba tidak diperbolehkan dan memberatkan.

Hal ini disampaikan Direktur Media dan Publikasi Suara Muhammadiyah Isngadi Marwah Atmadja dalam bedah buku Dilema Purifikasi Muhammadiyah Antara Progresivisme dan Konservatisme karya Kiai Tafsir Ketua PWM Jawa Tengah, Senin (19/2/2024).

Sebelumnya, kegiatan bedah buku yang digagas oleh penerbit SM ini sudah bergulir sebanyak tiga kali. Yaitu pada perhelatan Muktamar Muhammadiyah 48 di Surakarta tahun 2022, kemudian di Universitas Muhammadiyah Gombong pada tahun 2023, dan sekarang di awal tahun 2024 di Universitas Muhammadiyah Kudus.

Bukti bahwa kelahiran Muhammadiyah dalam rangka memudahkan, lanjut Isngadi, dikuatkan juga dengan karakter ajaran para pendiri awal Muhammadiyah, termasuk karakter dakwah Kiai Dahlan. Yang secara umum tampilannya luwes dan gampang.

Hal senada disampaikan Rektor Universitas Muhammadiyah Kudus Edy Soesanto. Dalam sambutannya dia mengatakan, sudah semestinya budaya dan agama berjalan beriringan.

“Karena sejarah masuknya Islam di Indonesia juga sarat dengan budaya bukan lewat jalur peperangan sebagaimana Dunia Arab,” ujarnya.

Edy juga mengapresiasi program penerbit SM yaitu bedah buku ini sebagai forum penguatan literasi para akademisi. Khususnya di lingkungan Universitas Muhammadiyah Kudus.

Sementara Riska Himawan sebagai pembedah menyimpulkan, walau buku ini sangat dilematik, tapi mestinya pendekatan dakwah Muhammadiyah hari ini tetap purifikatif progresif tapi juga apresiatif terhadap budaya agar dakwahnya tetap terasa lembut dan lebih humanis.

Sedang penulis buku Kiai Tafsir menjelaskan, bahwa Muhammadiyah lahir bukan mengubah dalil, tapi hanya mengubah cara pandang yang lebih progresif dengan konsep tajdidnya.

Sebagai contoh, Tafsir menyebutkan, bahwa dulu anak pesantren/pondok identik dengan penyakit kulit (gudik). Hal ini terjadi karena cara pesantren memandang sebuah dalil. Salah satu dalilnya adalah “dalam air dua kulah (kolam) maka di situ tidak ada najis.”

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini