Ketua Umum PP Muhammadiyah Prof. Haedar Nashir menuturkan, Muhammadiyah sudah lama menggarap dan memberikan pelayanan kepada kelompok miskin dan marjinal, kini saatnya mulai memikirkan kelompok elite untuk merasakan sentuhan Muhammadiyah.
Sejak awal hingga sekarang, Sekolah Muhammadiyah telah dirasakan memasyarakat. Akan tetapi jangan sampai lupa bahwa ada kelompok elite yang jarang tersentuh dakwah Muhammadiyah, dan jangan sampai mereka semakin jauh dengan Islam.
“Memang harus ada sekolah elitis, dan harus ada rumah sakit bertaraf internasional. Dan Muhammadiyah mampu untuk itu,” kata Haedar dalam acara Launching Pondok Pesantren Internasional Abdul Malik Fadjar (PPI-AMF) di Karangploso, Kabupaten Malang, Rabu (21/2/2024).
Menurut Haedar, kemampuan tersebut belum dimaksimalkan, masih harus memerlukan mindset pikiran berkemajuan yang otentik.
Baca juga: Resmikan Ponpes Abdul Malik Fadjar, Haedar Nashir: Waktunya Muhammadiyah Juga Ngurusi Elite
Pandangan pelayanan untuk kelompok elite ini, kata dia, tidak terputus dari sejarah lahirnya sekolah Muhammadiyah.
Sejak awal lahirnya sekolah Muhammadiyah adalah kritik terhadap ketertinggalan, karena berada pada posisi tradisionalisme pendidikan Islam.
Kiai Dahlan menganggap pendidikan Islam masih dikotomis, tidak memberikan ruang untuk pengetahuan selain ilmu agama.
“Ilmu agama pun lebih bersifat fikih, dan fikihnya pun masih bersifat terbatas. Dan yang kedua state of mind lembaga pendidikan muslim masih belum bisa berorientasi modernity,” beber dia.
Haedar lalu menuturkan, Kiai Dahlan tidak memungkiri meski lembaga pendidikan pesantren memegang peran penting bagi muslim Indonesia, tapi ada celah yang harus diperbaiki. Oleh karena itu, Kiai Dahlan menghadirkan institusi pendidikan berbentuk madrasah.
Baca juga: Muhadjir: Ponpes Abdul Malik Fadjar Harus Menginspirasi
Konsep madrasah merupakan institusi pendidikan yang melembaga dan modern. Konsep madrasah juga ditemukan dalam dialektika umat Islam pada abad pertama hijriyah. Pada saat itu ada dua istilah yaitu madrasatul ra’yi dan madrasatul atsar.
“Madrasatul atsar itu pola pikir keislaman yang berbasis pada normativitas keagamaan yang lebih bersifat bayani atau tekstual, yang berpusat di Hijaz. Tapi madrasatul ra’yi itu berpusat di Baghdad, yang terpengaruh oleh pemikiran-pemikiran Abu Hanifah dan pemikir-pemikir yang lebih tajdid,” terang Haedar.
Namun demikian, sejak era 80’an di Muhammadiyah terjadi kerinduan untuk mendirikan pesantren. Tetapi tidak pesantren dengan alam pikiran lama, atau disebut dengan pesantren salafiyah.
Mengutip Kuntowijoyo, Haedar Nashir mengatakan bahwa pendidikan Muhammadiyah adalah pendidikan Islam modern yang mampu mengintegrasikan iman dan akhlak, dengan kemajuan, pemikiran progresif Islam.
Maka saat ini dengan 400-an jumlah pondok pesantren Muhammadiyah jangan sampai seperti jamur di musim hujan. Menjamurnya pesantren Muhammadiyah jangan sampai menjadi revivalisme, karena resah terhadap era modern. (*/wh)
Untuk mendapatkan update cepat silakan berlangganan di Google News