Syahduhnya Berbuka Puasa di Masjidil Haram
foto: dok/pri

Pengalaman berbuka di Masjidil Haram rasanya tidak ditemukan di tempat lain.

Di tempat yang mulia ini ditemukan sejumlah keindahan Islam. Di antara mereka tidak ada lagi perbedaan tetapi persamaan yang menyatukan.

Hal ini menunjukkan peradaban tinggi yang dibangun oleh nilai-nilai Tauhid.

Persatuan dan Tradisi Berbagi

Setidaknya ada beberapa poin yang bisa digambarkan dari tradisi berbuka di Masjidil Haram. Pertama, Persatuan umat Islam. Berbagai jenis manusia dengan beragam tradisi-budaya-etnis bersatu dalam satu tempat.

Mereka bisa berkomunikasi meski dengan bahasa isyarat. Mereka tidak lagi mempersoalkan khilafiah dan perbedaan yang selama ini berkembang. Ketika terdengar adzan langsung menghentikan aktivitasnya.

Begitu dengan iqamah, mereka langsung bangkit membentuk shaf yang lurus dan rapat.

Kedua, Tradisi berbagi momentum berbuka puasa, terlihat dengan jelas tradisi berbagi. Manusia di antara berbagai suku etnis dan budaya ini saling memberi dan membagikan apa yang mereka bawa.

Mereka memberi makanan yang mereka siapkan kepada saudara muslim untuk menyambut berbuka puasa. Di antara mereka membagi kurma kepada siapa pun di sekitar yang bisa mereka jangkau.

Kurmanya juga kurma yang mahal dan berkelas, seperti ajwa, dan ruthob dan sejenisnya. Di antara mereka ada membawa tentengan 3-5 kresek besar berisi roti.

Mereka bagikan begitu saja sampai habis. Etnis lain juga membagi-bagikan yoghurt atau susu khas sini plus bumbunya.

Ada pula yang berbagi tamis beserta selainya serta jajanan lain yang telah mereka siapkan.

Bahkan tidak sedikit di antara mereka yang melibatkan anak-anak mereka membagi nasi khas Arab (briyani-kebuli) beserta lauknya.

Tradisi berbagi ini seolah memperlihatkan persaudaraan (ukhuwah Islamiyah) yang kuat.

Mereka berbagi untuk mendapatkan pahala yang besar di bulan suci ini. Pemandangan ini berlangsung selama sebulan penuh.

Semua itu menunjukkan bukan hanya persaudaraan yang kuat, tetapi persatuan yang kokoh.

Mereka ingin menunjukkan bahwa perbedaan suku-etnis-budaya tidak menghalangi mereka berbuat ketakwaan kepada orang lain.

Hal ini merupakan wujud dari narasi Alquran:

يٰۤاَ يُّهَا النَّا سُ اِنَّا خَلَقْنٰكُمْ مِّنْ ذَكَرٍ وَّاُنْثٰى وَجَعَلْنٰكُمْ شُعُوْبًا وَّقَبَآئِلَ لِتَعَا رَفُوْا ۗ اِنَّ اَكْرَمَكُمْ عِنْدَ اللّٰهِ اَ تْقٰٮكُمْ ۗ اِنَّ اللّٰهَ عَلِيْمٌ خَبِيْرٌ

“Wahai manusia! Sungguh, Kami telah menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan, kemudian Kami jadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku agar kamu saling mengenal. Sungguh, yang paling mulia di antara kamu di sisi Allah ialah orang yang paling bertakwa. Sungguh, Allah Maha Mengetahui, Maha Teliti.” (QS. Al-Hujurat : 13)

Syahduhnya Berbuka Puasa di Masjidil Haram
foto: dok/pri

Keberkahan Tauhid

Di tempat yang mulia ini terlihat kaum muslimin antusias dalam melakukan amalan kebaikan.

Di bulan Ramadan ini, kaum muslimin berzikir, membaca Alquran dan saling mengingatkan dalam kebaikan. Tradisi tepo seliro dan berempati kepada saudaranya.

Hati-hati mereka benar-benar disatukan oleh kalimat tauhid. Kalimat Tauhid inilah yang membuat tradisi berbagi ini memancar di tempat ini.

Kalimat tauhid ini sekaligus jawaban atas keraguan orang munafik yang awalnya ragu terhadap nasib mereka yang saat itu dalam keadaan tertindas. Sehingga mereka tidak segera berketetapan pada Islam.

Hal ini diabadikan Allah sebagaimana firman-Nya:

وَقَا لُوْۤا اِنْ نَّـتَّبِعِ الْهُدٰى مَعَكَ نُـتَخَطَّفْ مِنْ اَرْضِنَا ۗ اَوَلَمْ نُمَكِّنْ لَّهُمْ حَرَمًا اٰمِنًا يُّجْبٰۤى اِلَيْهِ ثَمَرٰتُ كُلِّ شَيْءٍ رِّزْقًا مِّنْ لَّدُنَّا وَلٰـكِنَّ اَكْثَرَهُمْ لَا يَعْلَمُوْنَ

“Dan mereka berkata, “Jika kami mengikuti petunjuk bersama engkau, niscaya kami akan diusir dari negeri kami.” (Allah berfirman) Bukankah Kami telah meneguhkan kedudukan mereka dalam tanah haram (tanah suci) yang aman, yang didatangkan ke tempat itu buah-buahan dari segala macam (tumbuh-tumbuhan) sebagai rezeki (bagimu) dari sisi Kami? Tetapi kebanyakan mereka tidak mengetahui.” (QS. Al-Qasas : 57)

Tradisi berbagi merupakan salah satu buah dari mengikuti petunjuk, sehingga mempersatukan hati mereka. Bentuk persatuan hati itu terwujud dalam berbagi tanpa takut miskin.

Tradisi bersatu dan berbagi ini merupakan bentuk pertolongan Allah yang membuka hati-hati mereka dalam kesempatan yang mulia.

Masjidil Haram bukan hanya simbol persatuan tetapi pusat peradaban tinggi yang memuliakan sesama manusia. Ini merupakan Tradisi kesetaraan yang di atas ketakwaan.

Betapa tidak, di antara manusia saling mencintai dengan membagikan apa yang mereka miliki tanpa takut miliknya habis. (*)

Masjidil Haram, 25 April 2023

Penulis: Dr. SLAMET MULIONO REDJOSARI, Wakil Ketua Majelis Tabligh Muhammadiyah Jawa Timur

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini