“Ciri berikutnya berikutnya taat aturan. Orang Muhammadiyah itu taat aturan. Kalau memang kalau jago kurang beruntung, lalu kemudian kita mencurigai ada yang melanggar aturan atau konstitusi, ada biarlah diselesaikan lembaga yang berwenang.
“Tetapi yang lebih baik adalah fa iza ‘azamta fa tawakkal ‘alallah. Kita sudah berikhtiar mendukung paslon utk menggapai kemenangan, kalau kemudian kurang beruntung ya kita tawakal kepada Allah. Jangan sampai timbul kecemasan yang berlebihan,” timpal Suko.
Ciri PESD berikutnya lainanya serangan panik, ketakutan akan masa depan, dan kemarahan yang tidak terkendali, dap ikiran negatif yang terus berputar tanpa henti.
“Gejala PESD juga membuat seseorang mengalami kabut otak, sulit konsentrasi, terjaga di malam hari, dan menyebabkan masalah hubungan,” tegasnya.
Nah, apa penyebabnya? Suko menyebutkan lantaran paparan informasi politik yang berlebihan, ketidak pastian tentang hasil pemilu, ketegangan politik, dan riwayat trauma.
Rekonsiliasi Pascapemilu
Suko juga mengatakan pentingnya rekonsiliasi pascapemilu. Dia lalu menceritakan jika Muhammadiyah pernah mengalami kondisi krisis identitas saat pemilu 1955. Saat Ketua Pimpinan Pusat Muhammadiyah Buya AR Sutan Mansur mendapat tarikan politik partisan.
“Namun itu tak berlangsung lama. Muhammadiyah kemudian keluar secara kelembagaan, dikarenakan di internal Muhammadiyah pun tidak setuju dengan sikap ini. Hal tersebut bukti bahwa Muhammadiyah cukup berpengalaman dalam memposisikan diri dalam konteks politik kebangsaan,” jelasnya.
Pengalaman selanjutnya, sebut Suko, yakni di era AR Fakhruddin. Pak Ar, begitu karib disapa, harus memimpin Muhammadiyah di bawah kontrol ketat pemerintahan Orde Baru.
Dalam upaya menyeragamkan ideologi dan memberantas kelompok garis keras, rezim Suharto meminta seluruh organisasi sosial politik mengadopsi Pancasila sebagai asas tunggal tahun 1984. Sejumlah kalangan Islam menolak tetapi Muhammadiyah memilih menerima.
Menurut AR Fakhruddin, menerima Pancasila seperti “naik motor di jalur wajib helm”, dengan helm diibaratkan sebagai Pancasila dan Muhammadiyah sebagai pengendaranya.
Menurut tafsir Pak AR Fakhruddin, meski memakai ‘helm’, pengendara tetap punya kepalanya sendiri tidak berarti berganti kepala. Hasilnya Muhammadiyah selamat dan bahkan makin besar di bawah AR Fakhruddin.