Salat adalah barometer utama kesalehan seorang muslim. Baik dan buruknya salat akan mempengaruhi kesalehan amalnya. Khususnya nanti di akhirat saat dihisab.
Sedangkan di dunia, orang yang menjaga salatnya dengan baik, maka terhadap perintah-perintah ibadah lainnya akan terjaga dengan baik.
Sebaliknya, jika ia teledor terhadap salatnya, maka terhadap perintah-perintah lainnya akan lebih teledor.
Memperhatikan shalat secara lahir dan batin menjadi kewajiban besar seorang muslim.
Karena keberuntungan dirinya, setelah iman, ditentukan oleh salatnya. Karenanya, di dalam surat Al-Mukminun, ciri utama orang beriman yang beruntung adalah mereka yang khusyuk dalam salatnya.
Kemudian di akhiri sifat mereka dengan: “Dan orang-orang yang senantiasa menjaga salat-salat mereka,” QS. Al-Mukminun: 9.
قَدْ أَفْلَحَ الْمُؤْمِنُونَ الَّذِينَ هُمْ فِي صَلَاتِهِمْ خَاشِعُون
“Sesungguhnya beruntunglah orang-orang yang beriman, (yaitu) orang-orang yang khusyuk dalam salatnya.” (QS. Al-Mukminun: 1-2)
Dalam Kitab Al-Wabil al-Shayyib, hal. 21, menyebutkan bahwa manusia terbagi dalam 5 tingkatan:
Pertama, tingkatan orang yang menzalimi diri sendiri dan teledor dalam salatnya. Ini adalah orang yang tidak menyempurnakan wudunya, waktu pelaksanaannya, aturannya, dan rukun-rukunnya.
Orang semacam ini akan mendapat siksa atas salat yang dikerjakannya itu.
Kedua, orang yang menjaga waktu-waktu, aturan-aturan, dan rukun-rukun salat; serta kesempurnaan wudunya secara lahir.
Tetapi ia teledor untuk dalam usaha memerangi bisikan godaan setan. Orang itu selalu terbawa kepada pikiran dan bisikan godaan setan. Keadaannya muhaasab (dihisab) atas keteledorannya itu.
Ketiga, orang yang menjaga batas-batas dan rukun-rukun salat. Ia berhasil melawan bisikan godaan setan dan kesibukan pikiran-pikirannya.
Ia selalu berjuang melawan musuhnya agar tidak mencuri salatnya. Ia selalu waspada dalam salat dan jihadnya. Inilah orang yang mukaffar ‘anhu (diampuni dosanya).