UM Surabaya

Demikianlah 10 karakter kader Muhammadiyah versi Ketua PP Muhammadiyah di atas yang harus dipersiapkan meneruskan Mentifact, Sosiofact dan Artifact yang sekarang membentang mondial bukan saja hanya ada di Indonesia akan tetapi sudah mengembangkan sayapnya mendunia.

Dalam hubungan tulisan ini penulis ingin mengutip pesan Dr. Mohammad Natsir (w. 6 Februari 1993 M), Perdana Menteri Pertama periode Parlementer RI tahun 1950-1951, seorang tokoh Muslim Indonesia yang sangat dihormati kawan maupun lawan,  ketika bertemu beliau tahun 1980-an di Gedung Dakwah Islam Indonesia  (DDII) bahwa salah satu penyakit umat Islam Indonesia adalah tidak bisa dan atau sangat sulit menjaga dan memelihara apa yang sudah ada.

Sepanjang perjalanan hidup yang penulis lalui memang ada benarnya pernyataan beliau itu,  walaupun tidak bisa dipukul rata (semua). Misalnya sebagai contoh banyak pondok-pondok pesantren yang cukup berkualitas pra-kemerdekaan dan pasca kemerdekaan ketika pendirinya wafat, tak ada kader yang mampu memelihara apalagi mengembangkannya.

Gejala ini penulis menemukan beberapa pendidikan Islam yang cukup bergensi di Jakarta (penulis tak mau menyebutkan namanya untuk menjaga hal-hal yang tidak diinginkan) ada penurunan dalam arti kuantitas maupun kualitas.

Lalu kemudian kalah bersaing dengan lembaga pendidikan Islam yang datang kemudian. Pertanyaannya adalah dari mana sumber kader sebagai penerus dan pelangsung Amal Usaha dan ormas Muhammadiyah?

Sumber kader Muhammadiyah yang utama dan pertama adalah lahir dari sebuah keluarga yang memang kedua orang tuanya memiliki jiwa Islam Berkemajuan dan berakidah murni. Dalam bahasa seorang sejarawan bahwa negarawan dan pengkhianat lahir dari unit terkecil bangsa yaitu rumah tangga.

Sulit membayangkan akan lahir kader Muhammadiyah yang diproyeksikan Ketua Umum PP di atas dari keluarga yang broken home yang semakin ke depan tantangan abadi manusia semakin berat bin sulit. Baik tantangan internal dirinya dan apalagi tantangan yang besifat eksternal organisasi yang semakin complicated.

Dalam konteks inilah bibit/kader yang sudah bagus hasil didikan lingkungan rumah tangga kedua orang tuanya itu harus juga mendapat tempat semaian yang bagus menurut SOP (Standar Operasional Prosedur) di lembaga pendidikan yang menjadi pengembangan intelektual dan pembinaan hidup bermasyarakat.

Budaya diskusi dan menerima pendapat serta masukan dari orang lain harus tumbuh kembang di lembaga pendidikan mulai dari tingkat paling dasar sampai yang paling tinggi sehingga kader ini nanti terbiasa menerima perbedaan pendapat dan akan menumbuhsuburkan sikap-sikap kritis dan menghargai pendapat orang lain.

Makna inilah yang dimaksud dengan “Jika Anda menghargai manusia di dunia maka Anda akan dihargai orang yang di langit”.

Selain rumah tangga ada lagi lembaga terstruktur kader Muhammadiyah yaitu di IPM (Ikatan Pelajar Muhammadiyah), AMM (Angkatan Muda Muhammadiyah), Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah (IMM), Hizbul Wathon (Jiwa Kepanduan/Jiwa Satria), Tapak Suci, yang umumnya ini untuk kalangan maskulin.

Ada kalangan muda Perempuan Muhammadiyah Nasyiatul Aisyiah yang sekelas dengan kalangan remaja, kemudian meningkat kepada kalangan Ibu-ibu (Aisyiah). Semua  ini Bersatu padu dalam diregent yang dimainkan ditingkat pusat dengan berbagai kebijakan dan pedoman yang jelas.

Memang benar dalam pendidikan itu ada tiga teori pengembangan karakter talenta seseorang anak, yaitu tabularasa dikenal dengan teori genetic bahwa jika orangtuanya kiai maka diduga kuat anaknya menjadi kiai, dan atau sebaliknya.

Kedua, teori emperisme bahwa keberhasilan seorang anak karena faktor kerja keras dan disiplin yang tinggi, ketiga, gabungan kedua teori di atas atau teori konvergensi (antara bakat/talenta dan tantangan atau kesempatan yang dimiliki atau disiapkan).

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini