Kapan Muhammadiyah Bisa Membuat Kitab Matan?
Ahwan Fanani. foto: dok/pri

*) Oleh: Prof. Dr. Ahwan Fanani, M.Ag. MS,
Anggota Majelis Tarjih dan Tajdid PWM Jawa Tengah

Dua hari lalu, ada pesan di WA saya. Pengirimnya dari perwakilan Majelis Pembinaan Kader dan Sumber Daya Insani (MKSDI) PDM Kendal, yang meminta saya mengisi Baitul Arqam untuk Pimpinan, Majelis dan Lembaga tentang tema Tuntunan Ibadah menurut Manhaj Tarjih. Urusan yang tampak sederhana begini yang menjadi kebutuhan umat.

Sehari sebelumnya, dalam Halaqah Lembaga Pengembangan Pesantren, ada satu pimpinan Muhammadiyah Boarding School (MBS) yang baru berdiri, mengeluhkan sulitnya mencari buku ajar tentang tema akidah yang sesuai dengan akidah Muhammadiyah.

Benar juga. Selama ini Ponpes kita ada yang memakai kitab akidah ala Asy’ariyyah, seperti al-Jawahir al-Kalamiyyah, dan ada pula menggunakan rujukan yang dekat Wahabi. Kedua orientasi ini belum sepenuhnya memuaskan warga kita di bawah.

Pagi ini, sohib lama, yang sekarang mulai bersenang hati menyibukkan diri di Persyarikatan di Jakarta, menelepon. Sejak sebelum aktif di Persyarikatan memang kita kadang berkomunikasi, khususnya tentang isu politik dan pengajian. Kakaknya di Jawa Timur mulai bersemangat kembali mengurus Persyarikatan, sebagaimana pesan ayah mereka dulu. Sayang, meski pimpinan dan lembaga lengkap, tapi jamaah masih harus dibangun.

Karena itu, kakaknya ingin mengajar kitab fikih ala Muhammadiyah, karena di desa perbedaan ibadah itu menandai kekhasan komunitas, apakah ini komunitas MU, komunitas NU, atau lainnya. Yang ia cari sederhana saja, kitab fikih seperti laiknya kitab-kitab fikih umum, tetapi menurut pendapat Muhammadiyah. Itulah yang hendak ditanyakan teman tersebut.

Realitasnya, kita belum punya kitab matan. Pekerjaan rumah Muhammadiyah, wabil khusus Majelis Tarjih, adalah menyusun kitab fikih lengkap, yang dimulai dari kitab matan. Kematangan satu komunitas keagamaan adalah kalau ia mampu menyusun pedoman sederhana dan memuat pandangan yang sudah mu’tamad sehingga bisa menjadi acuan masyarakat, dan bisa dikembangkan oleh para ahlinya.

Di madzhab Syafi’i ada kitab Taqrib, yang sangat populer. Kitab itu dipakai untuk pembelajaran pemula, tetapi ada kitab penjelasannya, baik dalam bentuk takhrij, syarah, atau hasyiyah.

Kita di Muhammadiyah, belum bisa beranjak menyusun kitab syarah dan takhrij jika belum memiliki kitab matan. Keberadaan buku-buku praktis, seperti Panduan Shalat Thathawu, Panduan Ibadah di Bulan Ramadhan, Panduan Idain, Panduan Zikir, dan lainnya cukup membantu untuk menata pandangan fikih Muhammadiyah, tetapi karena terpisah-pisah, karya-karya tersebut sulit disebut sebagai kitab matan yang utuh.

Muatan Himpunan Putusan Tarjih (HPT) sudah lumayan baik, tetapi karena tidak jelas mana bagian syarat, rukun, sunnah, dan mubthilat, maka belum memenuhi unsur-unsur sebagai kitab daras.

Ada pula fatwa-fatwa Tarjih, tetapi kita belum yakin apakah itu pendapat mu’tamad. Hal itu bisa dijembatani dengan memperkuat kembali fatwa-fatwa Tarjih dengan memasukkannya dalam kitab matan yang ditanfidz.

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini