*) Oleh: Donny Syofyan,
Dosen Fakultas Ilmu Budaya Universitas Andalas
Al-Ghazali (Abu Hamid Muhammad ibn Muhammad al-Ghazali) adalah seorang sarjana Muslim terkemuka, ahli hukum, filsuf, dan teolog yang hidup pada abad ke-11 dan ke-12 M.
Dia dilahirkan pada 1058 di Persia (Iran sekarang) dan memainkan peran penting dalam membentuk pemikiran Islam selama periode pascaformatif.
Al-Ghazali memberikan kontribusi penting dalam berbagai bidang dalam ilmu-ilmu Islam, dan karya-karyanya memiliki dampak yang mendalam dan abadi.
Pada kesempatan ini, saya mencoba melihat dua bidang saja yang menjadi minat beliau, yakni kalam (teologi) dan tasawuf (sufisme).
Pandangan Al-Ghazali tentang kalam berevolusi selama hidupnya. Al-Ghazali terlibat dalam perdebatan dan diskusi teologis, terutama dengan para pendukung aliran pemikiran Mu’tazilah.
Perspektifnya tentang kalam secara luar biasa bisa dipahami melalui karya-karyanya, terutama Tahafut al-Falasifah (Kerancuan Para Filsuf) dan Ihya’ Ulumuddin (Kebangkitan Ilmu-Ilmu Agama).
Al-Ghazali mengkritik aspek-aspek tertentu dari ide-ide filosofis yang lazim pada masanya, terutama yang dipengaruhi oleh filsafat Yunani.
Dalam Tahafut al-Falasifah, Al-Ghazali mengkritik para filsuf atas pandangan mereka tentang sifat-sifat Allah, hukum kausalitas, dan keabadian alam semesta. Dia berpendapat bahwa beberapa ide filosofis ini bertentangan dengan prinsip dasar teologi Islam.
Al-Ghazali menekankan keterbatasan akal manusia dalam memahami masalah teologis tertentu. Sungguh pun mengakui pentingnya akal dalam beberapa hal, Al-Ghazali berpendapat bahwa akal saja tidak dapat memahami kedalaman kebenaran ilahi.
Dia mengingatkan agar tidak hanya mengandalkan akal untuk memahami hal-hal di luar jangkauan pemahaman manusia, terutama ketika menyangkut masalah yang berkaitan dengan sifat Tuhan.