Terkait hubungan antara akal dan wahyu, Al-Ghazali sejatinya mendukung hubungan yang harmonis antara akal dan wahyu. Meskipun mengkritik filsuf, dia tidak menolak akal atau rasio secara langsung.
Sebaliknya, Al-Ghazali pentingnya integrasi akal dengan wahyu, dan mengakui peran akal untuk memahami dunia fisik. Namun beliau tetap menekankan bahwa wahyu memberikan panduan utama tentang perkara iman.
Oleh karena itu, Al-Ghazali menyoroti pentingnya iman (îmân) dan kepastian pengalaman (yaqîn) dalam masalah kalam.
Dia berpendapat bahwa pengetahuan sejati tentang Allah hanya dapat dicapai melalui pengalaman pribadi, intuisi rohani, dan hubungan yang tulus dengan Tuhan.
Penekanan pada kepastian pengalaman ini selaras dengan keterlibatannya dengan tasawuf.
Dalam karyanya yang monumental Ihya’ Ulumuddin, Al-Ghazali memasukkan bagian tentang kalam sebagai bagian dari pembahasan lebih luas tentang ilmu-ilmu Islam.
Karya tersebut membahas topik-topik teologis dalam konteks bimbingan praktis untuk individu tentang masalah iman, etika, dan spiritualitas.
Singkatnya, pandangan Al-Ghazali tentang kalam mencerminkan perspektif yang sarat nuansa dan berkembang.
Kendati dia amat kritis terhadap ide-ide filosofis tertentu, Al-Ghazali berusaha membangun pendekatan yang seimbang yang mengakui pentingnya akal dalam kerangka wahyu dalam Islam.
Penekanannya pada kepastian pengalaman (yaqîn) dan integrasi akal dan iman telah memengaruhi diskusi selanjutnya dalam teologi Islam.