Sementara itu, pandangan Al-Ghazali tentang tasawuf mengalami transformasi yang signifikan selama hidupnya.
Keterlibatannya dengan tasawuf sekali lagi dapat ditelusuri dalam magnum opus-nya Ihya`Ulumuddin. Evolusi pandangannya terhadap Tasawuf dapat diuraikan sebagai berikut:
Al-Ghazali awalnya skeptis terhadap beberapa praktik-praktik tasawuf. Dia mengkritik apa yang dilihatnya sebagai sikap berlebih-lebihan dan penyimpangan dari ajaran Islam ortodoks pada beberapa kelompok tasawuf tertentu.
Dalam Tahafut al-Falasifah, sebetulnya dia juga memuat kritik terhadap beberapa ide-ide tasawuf di samping pemikiran filosofis.
Al-Ghazali mengalami krisis pribadi yang membawanya untuk mengevaluasi hidup dan pencariannya di bidang ilmu.
Periode introspeksi dan pencarian spiritual ini akhirnya membawanya pada keterlibatan yang lebih mendalam dengan tasawuf. Dia mundur dari posisinya sebagai sarjana terkemuka dan mencari kehidupan yang lebih kontemplatif dan spiritual.
Dalam karyanya yang lebih terakhir, Ihya`Ulumuddin, Al-Ghazali menyertakan diskusi yang luas tentang tasawuf.
Dia menekankan pentingnya praktik-praktik tasawuf dalam membersihkan jiwa dan membina hubungan pribadi yang dalam dengan Allah. Yang penting, dia berusaha mengintegrasikan tasawuf dengan prinsip-prinsip hukum Islam.
Al-Ghazali mengakui praktik-praktik tasawuf, seperti zikir, muhasabah dan disiplin rohani sebagai sarana untuk mencapai pemurnian spiritual.
Dia mengintegrasikan praktik-praktik ini ke dalam kerangka perilaku etis dan kehidupan yang benar, menekankan penerapan praktik tasawuf secara praktis dalam kehidupan sehari-hari.
Dia juga menekankan pentingnya menjaga keseimbangan antara dimensi zahir (luar, hukum) dan dimensi batin (dalam, spiritual) Islam.