Tiga ayat di atas memerintahkan pengambilan zakat dari semua jenis harta orang-orang yang beriman.
Hal mana karena di dalam pengambilan tersebut terdapat manfaat yang nyata, baik bagi pemberi maupun bagi penerimanya. Oleh karenanya zakat hukumnya wajib. Termasuk di dalamnya, adalah zakat profesi.
Dari segi argumentasi, di dalam penghasilan dari profesi itu terdapat illat/kausalitas kewajiban zakat yaitual-namā/berkembang, sedang hukum itu ada dan tidak ada bersama illatnya, sebagaimana kaidah fikih populer, al-hukmuyaduruma’aillatihiwujudanau ‘adaman.
Selain itu, gaji, upah, atau honorarium, itu termasuk mālmustafād (kekayaan perolehan seperti hibah dan warisan), yaitu harta yang bisa dimanfaatkan dan dimiliki oleh seseorang melewati salah satu cara kepemilikan yang dibenarkan syariat. Mālmustafād juga wajib dizakati apabila mencapai niṣhāb dan berlalu ḥaul.
Penetapan kewajiban zakat terhadap pendapatan para profesional di samping untuk merealisasikan hikmah zakat yaitu menyucikan jiwa muzaki dan hartanya, juga untuk merealisasikan keadilan dalam ajaran Islam.
Dibandingkan dengan petani umpamanya, nasib para profesional adalah lebih baik. Jika petani saja diwajibkan membayar zakat, maka lebih utama lagi para profesional yang penghasilannya secara umum jauh lebih banyak.
Kewajiban zakat profesi merupakan hasil ijtihad ulama kontemporer. Hal ini karena banyak profesi yang ada sekarang ini belum dikenal dalam khazanah dan masyarakat Islam zaman silam.
Zakat penghasilan dari sebuah profesi di-qiyas-kan kepada zakat penghasilan dari perdagangan, bisa juga kepada emas, perak, dan uang. karena mempunyai syabah (kemiripan).
Musyawarah Nasional ke XXV Majelis Tarjih, tahun 2000 di Jakarta memutuskan bahwa zakat profesi hukumnya wajib dengan ketentuan nisab setara dengan 85 gram emas murni, dan kadarnya sebesar 2,5%.
Tiga tahun kemudian Majelis Ulama Indonesia (MUI) Pusat, memutuskan hal yang sama, sebagaimana tertuang dalam fatwa nomor 3 tahun 2003.
Dalam draf materi Munas XXXI Tarjih Muhammadiyah , yang selanjutnya disepakati dalam sidang pleno, menyebutkan bahwa penghasilan dari sebuah profesi di-qiyas-kan kepada harta yang telah ada, karena di antara keduanya mempunyai syabah atau kemiripan.