Daya tahan bangsa Indonesia dalam menghadapi gejolak politik telah teruji. Perbedaan pilihan politik di Pemilu 14 Februari 2024 memang masih menyisakan dinamika, tetapi tidak sampai menjurus ke konflik politik di level horizontal.
Kedewasaan masyarakat kian menunjukkan kemajuan positif. Arus besarnya tidak terjebak pada pembelahan sikap-sikap ekstrem pro atau anti, apalagi permusuhan dan kekerasan.
Kesadaran masyarakat untuk selalu mencari jalan tengah tersebut, menurut Ketua Umum PP Muhammadiyah Haedar Nashir, karena DNA bangsa Indonesia adalah moderat. Kesepakatan “Negara Pancasila” merupakan wujud permanen dari DNA tersebut.
Demikian salah satu pokok pikiran yang mencuat dari peluncuran buku “Jalan Baru Moderasi Beragama : Mensyukuri 66 Tahun Haedar Nashir” pada Senin (4/3/2024) malam di Auditorium Perpustakaan Nasional, Jakarta Pusat.
Pesan moral buku ini relevan dengan kondisi kebangsaan hari ini pasca Pemilu yang menuntut rekonsiliasi politik dan mengingatkan masyarakat agar tidak terseret sikap partisan yang berlebihan. Moderasi beragama meniscayakan budaya moderasi dalam kehidupan kebangsaan.
Sikap moderasi juga menjadi jangkar Haedar Nashir dalam menahkodai Muhammadiyah mengarungi pasang-surut politik nasional. Mantan Sekretaris Umum PP Muhammadiyah di era Buya Ahmad Syafii Maarif ini menampilkan corak kepemimpinan kritis-akademis dalam menerjemahkan semangat amar makruf dan nahi munkar pada ranah kenegaraan. Haedar percaya, pendekatan dialog-persuasif lebih proporsional dibanding pendekatan reaksioner-konfrontatif.
Pengajaran moderasi beragama Haedar dinilai mencerahkan dalam konteks hubungan antar umat beragama dan memberikan keteladanan. Dalam pandangan Kardinal Ignatius Suharyo, Uskup Agung Jakarta, transformasi Muhammadiyah di bawah kepemimpinan Haedar mengingatkannya pada transformasi yang terjadi dalam Gereja Katolik, sejak Konsili Vatikan II (tahun 1962-1965).
“Kata-kata Haedar tidak terbang hilang, tetapi dipahami, diingat, dan dikutip. Karena keteladanan beliau, saya yakin akan kebenarannya (beliau) disebut sebagai begawan moderasi Islam,” tutur pemimpin Umat Katolik di Indonesia ini.
Menurutnya dalam pribadi Haedar Nashir berlangsung dinamika yang dirangkai dalam tiga kalimat: pengalaman keagamaan otentik, transformasi pribadi, dan transformasi institusi.
Sementara itu, Jusuf Kalla menyebut bahwa perbedaan agama yang ada sebenarnya hanyalah perbedaan tafsir agama. Ia bersyukur Indonesia memiliki figur seperti Haedar Nashir yang selalu mengutamakan moderasi melalui pendidikan. Moderasi dan modernisasi, yang juga menjadi fokus utama Muhammadiyah, harus berjalan bersama.
Selanjutnya, Susi Pudjiastuti mengaku bangga bisa menjadi seorang sahabat dari Haedar Nashir. “Saya senang sekali diberikan kesempatan untuk bersahabat dengan Pak Haedar yang punya kedalaman hati dan keluasan ilmu. Beliau adalah orang yang sangat halus tapi sebenarnya tegas,” ujarnya. (*/tim)
Untuk mendapatkan update cepat silakan berlangganan di Google News