10.8 Juta Penyandang Disabilitas Usia Kerja, Hanya 5% yang Sarjana
Webinar International Women’s Day 2024 Inspiring Inclusion.
UM Surabaya

Sekretaris Umum Pimpinan Pusat ‘Aisyiyah, Tri Hastuti Nur Rochimah menyampaikan Aisyiyah mendorong gerakan perempuan untuk mengawal implementasi GEDSI (gender, disabilitas dan inklusi sosial) dalam perencanaan pembangunan. Hal itu disampaikannya dalam Webinar International Women’s Day 2024 Inspiring Inclusion : Aksi Bersama Pengarusutamaan GEDSI Menuju Pembangunan Inklusif pada Rabu (6/3/2024).

Acara yang digelar secara daring ini terlaksana atas kerjasama Program Inklusi ‘Aisyiyah dengan DPD Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah (IMM) Daerah Istimewa Yogyakarta.

Disampaikan Tri Hastuti, saat ini pemerintahan sedang melaksanakan proses penyusunan dokumen perencanaan di tingkat nasional maupun daerah. Di sinilah perempuan memiliki peran untuk memastikan prinsip GEDSI dapat diimplementasikan.

Tri menyampaikan prinsip GEDSI harus diimplementasikan dalam perencanaan pembangunan karena masih terjadi ketimpangan gender dan disabilitas di berbagai sektor pembangunan. Mayoritas kebijakan juga tidak secara khusus mengadopsi aspek GEDSI. Dari sisi disabilitas, juga terdapat 10.8 juta penyandang disabilitas dengan usia kerja tetapi hanya 5% yang memiliki gelar sajrana.

“Berbagai problem pemenuhan hak dasar warga dengan perspektif GEDSI  yang masih menjadi PR seperti angka kemiskinan, AKI, stunting, perkawinan anak, kekerasan terhadap perempuan anak, akses ketenagakerjaan, akses remaja dalam pembangunan, serta persiapan pilkada 2024,” tambah Tri

Melihat kondisi ketimpangan yang terjadi di masyarakt, Koordinator Inklusi ‘Aisyiyah ini mendorong agar para kader ‘Aisyiyah mengawal dan mengecek kebijakan pembangunan di Indonesia sehingga berperspektif  GEDSI.

“Mengapa penerapan GEDSI ini penting dalam perencanaan pembangunan ? karena pencapaian pembangunan yang berkelanjutan akan lebih efektif kalau perspektif GEDSI ini dipertimbangkan dalam merumuskan kebijakan,” ujarnya.

Keterlibatan masyarakat ini disebut Tri dapat dilaksanakan melalui tiga hal yakni. Pertama, melakukan pendidikan politik. Bagaimana mendorong perempuan baik di desa hingga kabupaten berpartisipasi aktif dalam pembangunan.

“Pemilu itu hanya titik awal, lima tahun kedepan kita harus mengawal apakah anggaran negara di desa sampai kabupaten harus mengakomodir kelompok marginal disabilitas,” jelasnya.

Kedua, penguatan kapasitas pemimpin lokal. Ketiga, keterlibatan dalam perencanaan pembagunan di semua level melalui musrenbang. “Untuk mendukung hal ini ‘Aisyiyah mengupayakan adanya musyawarah perencanaan pembangunan bagi perempuan dan kelompok rentan untuk mengumpulkan aspirasi mereka yang nantinya dokumen tersebut akan disampaikan di musyrenbang pemerintah daerah,” jelas Tri.

Alya Zahra Sabira, aktivis muda yang terlibat dalam National Gender Youth Activist UNWOMEN dan Youth Years Intern Ashoka menyebutkan bahwa penerapan GEDSI dalam pembangunan diperlukan untuk menciptakan kesetaraan gender dan meningkatkan partisipasi perempuan. Akan tetapi banyak tantangan pengarusutamaan GEDSI dalam kebijakan dan program. Alya menyebut norma budaya dan stereotip gender, ketidaksetaraan di dunia pendidikan, kekerasan terhadap perempuan, dan terbatasnya ruang partisipasi perempuan menjadi faktor penghambatnya.

Di lain sisi perempuan muda mampu untuk berperan dalam penerapan GEDSI. “Perempuan dapat berperan sebagai agent of change karena membawa semangat dan inovasi untuk mencapai tujuan kesetaraan.” Selain itu keterlibatan perempuan dalam politik maupun pengambilan keputusan disebut Alya dapat menjadi langkah penting untuk mencapai kesetaraan gender. Perempuan juga mampu menjadi agen untuk menyebarkan informasi dan memobilisasi dukungan untuk isu-isu GEDSI melalui teknologi dan media sosial.

Tiga strategi yang menurut Alya dapat diterapkan untuk mendukung peran perempuan muda adalah Awarenes, Action, dan Advocacy. Awarenes merupakan strategi dasar yang harus dilakukan karena memberdayakan perempuan dimulai dari meningkatkan kesadarannya. “Anak muda perempuan perempuan perlu diberikan pengetahuan dan kapasitas untuk menyadari bahwa kita memiliki hak yang sama, memiliki hak untuk terbebas dari segala macam kekerasan dan punya kesempatan untuk berbicara,” terangnya.

Perempuan muda disebut Alya memiliki kekuatan yang besar dengan daya inovasi dan kreativitasnya. Perempuan muda juga mempunyai sensitivitas atas kebutuhan yang diperlukan untuk mengatasi berbagai permasalahan yang dihadapi oleh perempuan itu sendiri.

“Oleh karena itu perlu dibuka ruang-ruang bagi perempuan untuk dapat mempengaruhi kebijakan agar penandaan untuk berbagai isu lebih responsif gender dan lebih inklusif sehingga kebutuhan berbagai elemen di masyarakat bisa terkomodasi untuk Indonesia yang lebih inklusif.” (*/suri/tim)

Untuk mendapatkan update cepat silakan berlangganan di Google News

 

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini