Sekarang ini Id sering menjadi masalah. Baik Idul Fitri maupun Idul Adha. Idul Adha di Indonesia tahun lalu, Pemerintah kita beda dengan Idul Adha di Arab Saudi.
Padahal perayaan Idul Adha tidak lepas dari pelaksanaan ibadah haji dan kurban. Ibadah hajinya di Makkah dan sekitarnya, ibadah kurbannya di seluruh penjuru dunia, yang keduanya terkait.
Pada Idul Fitri, ada berbagai penetapan Idul Fitri yang berbeda dengan Pemerintah baik oleh ormas, kelompok tarekat, pondok pesantren, atau jamaah tertentu.
Yang paling mencolok adalah penentuan awal Ramadan oleh Muhammadiyah yang beberapa kali beda dengan awal Ramadan yang ditetapkan Pemerintah.
Sering muncul pertanyaan di masyarakat: “Idul Fitri ikut Pemerintah atau ikut Muhammadiyah?” Seolah Muhammadiyah sama besar dengan Pemerintah.
Pemilahan ini terkadang menimbulkan kekacauan asosiasi di masyarakat. Seolah, jika tidak ikut Lebaran versi Pemerintah, tanggal 22 April 2023, maka seolah tidak taat ulil amri.
Padahal ada hal-hal dalam beragama yang Pemerintah tidak boleh ikut campur terlalu dalam.
Banyak yang memutlakkan kaidah “pendapat imam menghilangkan perbedaan pendapat”, padahal kaidah itu lebih tepat dipakai untuk menjelaskan putusan hakim yang mengikat para pihak yang bersengketa di pengadilan, meski mereka punya pandangan hukum sendiri.
Dalam aturan bernegara kita tunduk pada Konstitusi (UUD 1945), yang melindungi hak menjalankan ibadah sesuai keyakinan masing-masing.
Mengajak atau mempersuasi pihak lain atau berdakwah boleh saja, sepanjang tidak memaksakan kehendak, apalagi mendorong Pemerintah untuk melanggar konstitusi.
Sayangnya, karena kurang memahami aturan bernegara mengenai relasi agama dengan negara, akhirnya ada pihak melarang-larang orang menggunakan tanah lapangan untuk salat Idul Fitri tanggal 21 Apri 2023.
Ada yang mengira kita menganut Pemerintahan khilafah, otokrasi, atau otoritarianisme sehingga warga negara hanya menjadi objek dari elit penguasa dan harus seragam dalam urusan ibadah.
Padahal, pengadilan sejak zaman kekhilafahan pun tidak menangani urusan ibadah mahdlah, melainkan masalah pidana dan perdata, dan hak ulama-ulama untuk berbeda pendapat pun diakui.
Akibat dari pola berpikir hitam putih, pada penentuan Idul Fitri tahun ini seolah muncul posisi berseberangan: Pemerintah versus Muhammadiyah.
Orang yang berlebaran tanggal 22 April 3023 seolah ikut Pemerintah dan yang berlebaran tanggal 21 April 2023 seolah ikut Muhammadiyah.
Kenyataannya, banyak ahli hisab yang non-Muhammadiyah yang juga menentukan Idul Fitri tanggal 21 April 2023.
Hal demikian bukan perkara baru, kecuali bagi orang yang terlalu banyak berimajinasi dengan kaidah: “Pendapat Imam menghilangkan perbedaan pendapat.”
Kaidah tersebut, meski ada sejak lama, baru populer di Indonesia akhir-akhir ini, sedangkan sejak zaman Belanda kaidah yang banyak dipakai adalah: “Imam kentut tidak perlu diikuti”, alias jamaah boleh mufaraqah atau memisahkan diri dari keputusan Pemerintah sebagaimana kalau ada imam salat kentut.
Kaidah imam kentut ini tidak salah juga karena kita dulu juga bersemangat untuk menentang kekuasaan lama Orde Baru dan tidak ada yang bilang itu tindakan melawan ulil amri.
Demikian pula, warga negara kita menolak UU Cipta Kerja yang dipandang lebih pro terhadap investor.
Pada masa Orde Baru atau bahkan jauh sebelumnya, banyak tokoh agama yang memiliki lembaga pendidikan Islam dan punya santri yang loyal.
Tokoh agama tersebut sebagian ahli falak sehingga melakukan hisab sendiri dan menentukan waktu Idul Fitri bagi para santrinya. Karena hormat pada guru, para alumni tidak jarang ikut hasil hisab gurunya.
Jika mereka punya pengaruh agama di masyarakat, maka mereka akan berlakukan pula hisab gurunya itu untuk warga desanya. Fenomena demikian masih kita temui hingga saat ini.
Itulah masalah dunia Islam yang belum mampu membuat mekanisme penentuan hari raya yang konsisten dan andal.
Orang-orang Katolik berhasil menetapkan kalender Masehi yang andal untuk menentukan hari raya mereka dan bahkan dipakai secara luas.
Orang Islam masih senang dengan ritual yang kadang kurang bermanfaat, seperti heboh menjelang Ramadan atau Syawal, dengan acara teropong hilal tanpa berkehendak untuk mencari metode andal dalam penetapan kalender hijriah.
Bahkan, ketika tinggi hilal tidak memungkinkan untuk dilihat dengan mata atau teropong pun, tetap saja acara rukyat dilakukan, sebagai ritual tahunan.
Dunia sudah membuat konversi pada fenomena alam dengan berbagai cara. Jalannya bumi mengitari matahari sudah dikonversi dengan jam dan tanggal. Waktu salat yang menurut nash-nya berdasarkan cahaya matahari sudah dikonversi ke dalam waktu atau jam sehingga untuk mengetahui waktu salat cukup dengan melihat jam.
Zakat mal atas kambing atau unta bisa dikonversi dengan nilai uang. Demikian juga zakat fitrah. Fenomena hilal pun sudah bisa dikonversi ketinggiannya dengan hitungan. Namun, untuk dua hal ini, banyak umat Islam yang memilih tekstual dan menolak model konversi. Tetapi saat berbuka dan sahur yang dipakai adalah hasil konversi waktu dari fenomena alam, yaitu tenggelamnya matahari dan terbitnya fajar.
Itulah tantangan besar umat Islam saat ini, yaitu mencari kepastian yang memudahkan hidup dan mengurangi ritual yang tidak perlu. Dengan perkembangan ilmu dan sains harusnya hal demikian bisa dilakukan.
Tetapi, banyak hal non-ilmu yang turut menentukan perilaku umat Islam. Jika demikian halnya, maka umat Islam memang harus berendah hati untuk mengakui bahwa mereka harus sepakat untuk belum sepakat.
Meski pun barangkali hal demikian kadang kurang ideal, tetapi itulah jalan terbaik sebelum tiba konsensus yang bisa diterima semua pihak. (*)
*Penulis: Dr. AHWAN FANANI M.Ag, M.S (Majelis Tarjih dan Tajdid PWM Jawa Tengah)
Semoga semua umat islam baik NU maupun muhamadiyah saling bisa menghargai antar pendapat dalam menentukan 1 syawal 1444 H.sehingga tidak menimbulkan gesekan antar umat islam.
Amin