Rasulullah sallallahu alaihi wasallam bersabda:
إِنَّكَ لَنْ تُنْفِقَ نَفَقَةً تَبْتَغِى بِهَا وَجْهَ اللَّهِ إِلاَّ أُجِرْتَ عَلَيْهَا ، حَتَّى مَا تَجْعَلُ فِى فِى امْرَأَتِكَ
“Sungguh tidaklah engkau menginfakkan nafkah (harta) dengan tujuan mengharapkan (melihat) wajah Allah (pada hari kiamat nanti) kecuali kamu akan mendapatkan ganjaran pahala (yang besar), sampai pun makanan yang kamu berikan kepada istrimu” (HR. Bukhari No. 56).
Mencari Nafkah Termasuk Jihad
Dalam Islam, jihad tidak hanya diukur dengan perang. Bagi orang tertentu yg sangat dibutuhkan keluarganya dan jika tak dapat digantikan oleh siapa pun, maka memberi nafkah itu pun termasuk jihad.
أنَّه مر على النبي صلى الله عليه وسلم رجلٌ، فرأى أصحابُ رسول الله صلى الله عليه وسلم من جَلَدِه ونشاطِه، فقالوا: يا رسول الله، لو كان هذا في سبيلِ الله، فقال رسول الله صلى الله عليه وسلم: (إن كان خرجَ يسعى على وَلَدِه صِغارًا، فهو في سبيل الله، وإن كان خرج يسعى على أبوين شيخين كبيرين، فهو في سبيل الله،
“Seorang sahabat pernah berpapasan dengan Nabi sallallahu alaihi wasallam, lalu para sahabat juga turut menyaksikan sahabat tadi yang warna kulitnya legam dan sangat rajin, mereka pun berkata, “Wahai Rasululullah, seandainya (pria semacam ini) ikut berjihad. Lalu Rasulullah sallallahu alaihi wasallam menimpali, “Jika dia keluar rumah untuk menafkahi anaknya yang kecil dia (jihad) di jalan Allah, jika dia keluar untuk menafkah dua orang tuanya yang sudah renta, dia di jalan Allah.” (HR. Ath-Thabrani. dari Ka’ab bin Ujroh)
Memberi Nafkah Menghapus Dosa
عن رسول الله صلى الله عليه و سلم أنه قال من الذنوب ذنوب لا يكفرها إلا الهم بطلب المعيش
“Dari Rasulullah saw., ia bersabda, ‘Dari sekian dosa terdapat jenis dosa yang tidak dapat ditebus kecuali dengan kebimbangan untuk mencari penghidupan (keluarga).” (HR At-Thabarani, Abu Nu’aim, dan Al-Khatib).
Sebaliknya, orang yang tidak memberikan nafkah mendapatkan dosa yang besar
كَفَى بِالْمَرْءِ إِثْمًا أَنْ يَحْبِسَ عَمَّنْ يَمْلِكُ قُوْتَهُ
“Cukuplah bagi seseorang untuk mendapatkan dosa bila ia menahan makanan dari orang yang berhak mendapatkan makanan darinya.” (HR. Muslim No. 996).
Dari Aisyah, sesungguhnya Hindun binti ‘Utbah berkata kepada Rasulullah sallallahu alaihi wasallam: “Wahai Rasulullah, sesungguhnya Abu Sufyan adalah seorang suami yang pelit. Dia tidak memberi untukku dan anak-anakku nafkah yang mencukupi kecuali jika aku mengambil uangnya tanpa sepengetahuannya”.
Rasulullah sallallahu alaihi wasallam bersabda:
خُذِى مَا يَكْفِيكِ وَوَلَدَكِ بِالْمَعْرُوفِ
“Ambillah dari hartanya yang bisa mencukupi kebutuhanmu dan anak-anakmu dengan kadar sepatutnya.” (HR. Bukhari, no. 5364).
Meninggalkan Keluarga dalam Keadaan Berkecukupan
Rasulullah sallallahu alaihi wasallam bersabda:
إِنَّكَ أَنْ تَذَرَ وَرَثَتَكَ أَغْنِيَاءَ خَيْرٌ مِنْ أَنْ تَذَرَهُمْ عَالَةً يَتَكَفَّفُونَ النَّاسَ ، وَلَسْتَ تُنْفِقُ نَفَقَةً تَبْتَغِى بِهَا وَجْهَ اللَّهِ إِلاَّ أُجِرْتَ بِهَا ، حَتَّى اللُّقْمَةَ تَجْعَلُهَا فِى فِى امْرَأَتِكَ
“Sesungguhnya jika kamu meninggalkan ahli warismu kaya, itu lebih baik daripada kamu meninggalkan mereka dalam keadaan miskin sehingga mereka terpaksa meminta-minta kepada sesama manusia. Sesungguhnya apa yang kamu nafkahkan dengan maksud untuk mencari ridha Alah pasti kamu diberi pahala, termasuk apa yang dimakan oleh istrimu.” (Muttafaqun ‘Alaih). (*/tim)
Untuk mendapatkan update cepat silakan berlangganan di Google News