*) Oleh: Donny Syofyan,
Dosen Fakultas Ilmu Budaya Universitas Andalas
Pernahkah kita melihat orang makan cabai super pedas? Dia berkeringat dan air matanya keluar. Mungkin kita berpikir, “Kasihan sekali.”
Tapi, setelah menghabiskan cabai itu, dia malah minta tambah! Kenapa? Karena yang bagi kita terlihat siksaan, baginya justru kenikmatan.
Ini hal menarik untuk dibahas. Soalnya, Muslim awam tanpa ilmu agama mendalam mungkin mengira Tuhan seperti mandor yang memberi tugas berat.
Kita harus berhasil agar selamat, kalau tidak ya dihukum. Padahal, dalam Islam, kita tidak memandang Tuhan seperti itu.
Para ulama justru menjelaskan bahwa larangan Tuhan muncul karena hal itu berbahaya bagi kita, terutama secara spiritual.
Itulah kenapa Allah melarangnya supaya kita tidak terluka secara rohani. Sebaliknya, jika Tuhan menyuruh kita melakukan sesuatu seperti salat, puasa, atau amalan lainnya, itu untuk kebaikan spiritual kita.
Kalau kita tidak melakukannya, kita akan tersakiti secara spiritual. Itulah kenapa Tuhan mewajibkan kita. Misalnya, kita punya naluri fisik seperti lapar dan haus.
Tak perlu disuruh, kita akan makan dan minum. Tuhan tak perlu bilang, “Lebih baik kamu makan dan minum.”
Namun, kita tidak bisa melihat jiwa atau sisi spiritual seseorang. Kita tidak tahu apa kebutuhannya. Jiwa manusia tak bisa diuji di lab untuk mengetahui nutrisi spiritualnya.
Hanya Sang Pencipta yang tahu kita butuh salat, puasa, beserta dosis dan waktunya, layaknya obat yang tidak boleh diminum sekaligus.
Sama seperti kita perlu tahu kapan salat, kapan puasa, kapan berzikir dan caranya. Kita juga perlu tahu cara terhubung dengan kekuatan yang lebih besar, yang menjalankan alam semesta, yakni Allah Sang Khalik.
Salat dan puasa adalah caranya. Tujuan puasa yang Allah tetapkan adalah untuk terhubung dengan-Nya. Bahkan di sebuah Hadits Qudsi, dinyatakan (الصيام لي وأنا أجزي به—Puasa untuk-Ku dan Aku yang akan membalasnya). Jadi, saat seseorang berpuasa, dia menjadi lebih dekat dengan Tuhan.