Puasa Ramadan dan Ketahanan Keluarga
UM Surabaya

*) Oleh: Dr. M. Samson Fajar, MSos.I,
Dosen Universitas Muhammadiyah Metro

Hari pertama Ramadan 1445 H ini, saya ingin mengajak semua pembaca merenung dan memahami puasa dalam perspektif keluarga. Karena penulis meyakini bahwa puasa bukanlah sekadar sebuah ritual tahunan, tetapi lebih dari itu.

Puasa adalah sebuah sistem kehidupan yang diturunkan Allah SWT untuk menjaga kehidupan manusia, baik menjaga agama (hifdzu dien), menjaga jiwa (hifdzu nafsi), menjaga akal (hifdzu aql), menjaga keturunan (hifdzu nasl) dan menjaga harta (hifdzu mal). 

Sistem ini adalah sebuah keharusan untuk ditegakkan dan dilakukan oleh manusia, sehingga dalam Islam puasa menjadi salah satu rukun Islam. Artinya, dia menjadi sistem hidup yang mutlak, tanpanya akan terjadi kerusakan kehidupan dan dunia ini.

Mungkin asumsi tersebut terlalu berlebihan. Akan tetapi, penulis sangat meyakini sekali berdasarkan keimanan dan keilmuan, bahwa tanpa puasa maka dunia ini akan hancur.

Puasa Ramadan hakikatnya adalah sebuah simbol yang hadirkan oleh Allah SWT, yang secara syar’i hendaknya dilakukan berdasarkan nilai-nilai fiqhiyah hukumnya, sehingga menjadi ritual yang penuh pahala.

Akan tetapi ada mafhum (makna) yang sangat dalam yang itu adalah hakikat dari pada puasa itu sendiri. Inilah yang kemudian Nabi Muhammad SAW melakukan autokritik dalam hadis:

رُبَّ صَائِمٍ حَظُّهُ مِنْ صِيَامِهِ الجُوْعُ وَالعَطَشُ

“Betapa banyak orang yang berpuasa namun dia tidak mendapatkan dari puasanya tersebut kecuali rasa lapar dan dahaga.” (HR. Ath Thobroniy dalam Al Kabir dan sanadnya tidak mengapa. Syaikh Al Albani dalam Shohih At Targib wa At Tarhib no. 1084 mengatakan bahwa hadis ini shohih ligoirihi –yaitu shohih dilihat dari jalur lainnya).

Artinya, puasa tidak boleh hanya menahan lapar dan dahaga saja, tetapi hendaknya menaikkan level lebih tinggi, pada penegakan nilai-nilai puasa yang sangat luar biasa.

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini