Puasa Menaklukkan Hawa Nafsu
Imron Nur Annas. foto: dok/pri
UM Surabaya

*) Oleh: Imron Nur Annas, M.H,
Anggota Majelis Tabligh PDM Nganjuk dan Pengajar di Ponpes Ar-Raudlotul Ilmiyah Kertosono

Pada abad ke 13 Hijriah, ulama yang masyhur bernama Ustman bin Hasan bin Ahmad Asy-Syakir Al-Khaubawiyyi meriwayatkan dalam kitabnya Durratun Nasihin bahwa sebelum Nabi Adam diciptakan Allah terlebih dahulu menciptakan akal dan nafsu, lalu Allah menguji keduanya agar kelak di kemudian hari Nabi Adam dan anak cucunya mengetahui bagaimana cara menggunakan dan menaklukkannya dari fungsi keduanya.

Ketika Allah memerintahkan akal dan nafsu menghadap-Nya. Kemudian ditanya satu per satu. Akal pun datang menghadap dan ketika disuruh berbalik, berbaliklah ia. Lalu Allah pun bertanya kepadanya, “Man ana wa man anta? (siapa Aku dan siapa kamu?)”. Maka dengan rasa penuh tawadu, akal menjawab, “Anta Rabbi wa ana ‘abduka adh-dha’if (Engkau Tuhanku dan aku hamba-Mu yang lemah)”. Karena itu, Allah memberikan kemuliaan kepada akal.

Kemudian giliran nafsu diperintahkan untuk menghadap, tapi ia diam saja, tidak menjawab panggilan Allah. Ketika ditanya dengan pertanyaan yang sama “Man ana wa man anta? (siapa Aku dan siapa kamu?)”, dengan sombongnya nafsu menjawab, “Ana wa ana, Anta wa Anta” (aku adalah aku, Engkau adalah Engkau).

Karena jawaban itulah maka Allah menghukumnya dengan memasukkan nafsu ke dalam neraka Jahim selama 100 tahun. Setelah dikeluarkan dari neraka Jahim dan ditanya lagi oleh Allah “Man ana wa man anta? (siapa Aku dan siapa kamu?)”, dia pun menjawab dengan jawaban yang sama. “Ana wa ana, Anta wa Anta” (aku adalah aku, Engkau adalah Engkau).

Akhirnya Allah memasukkan lagi nafsu ke neraka Ju’ (neraka yang penuh dengan rasa lapar yang amat sangat) selama 100 tahun pula. Nafsu dibiarkan tanpa makan dan minum. Setelah nafsu tidak diberi makan dan minum membuat nafsu sadar dan tak berdaya. Nafsu menyerah dan mengakui bahwa Allah adalah Tuhan yang menciptakannya.

Kisah ini memberi kita hikmah betapa membangkangnya Nafsu. Apabila seseorang tidak bisa mengendalikan bahkan menundukkan nafsunya, maka kepuasan lahir dan batin tidak akan diraihnya dalam hidup dan akan mendapat kerugian yang amat besar.

Imam Al-Ghazali seorang praktisi akademisi dan ahli tasawuf mengatakan dalam Karyanya yang bertajuk Ihya’ ‘Ulumiddin memberikan nasihat bahwa, “Kebahagiaan adalah ketika seseorang mampu menguasai nafsunya. Kesengsaraan adalah saat seseorang dikuasai nafsunya”.

Penderitaan yang tiada henti akan dialami seseorang yang dikuasai nafsunya dan menuruti bujuk rayu setan tanpa mengikuti petunjuk dari jalan Allah akan mendapat azab yang amat pedih di akhirat, karena mereka melupakan hari perhitungan.

Allah berfirman dalam surat Shad ayat 26 yang berbunyi: “Dan janganlah kamu mengikuti hawa nafsu, karena ia akan menyesatkan kamu dari jalan Allah. Sesungguhnya orang-orang yang sesat dari jalan Allah akan mendapat azab yang berat, karena mereka melupakan hari perhitungan”.

Dalam surat Al-Qashash ayat 50 Allah memberi ancaman dengan tegas tidak akan memberikan petunjuk sedikit pun kepada orang yang zalim yang mengikuti kemauan hawa nafsunya, dan lebih mengutamakan ketaatan kepada setan daripada ketaatan kepada Allah:

وَمَنْ أَضَلُّ مِمَّنِ ٱتَّبَعَ هَوَىٰهُ بِغَيْرِ هُدًى مِّنَ ٱللَّهِ ۚ إِنَّ ٱللَّهَ لَا يَهْدِى ٱلْقَوْمَ ٱلظَّٰلِمِينَ

“Dan siapakah yang lebih sesat daripada orang yang mengikuti hawa nafsunya dengan tidak mendapat petunjuk dari Allah sedikit pun. Sesungguhnya Allah tidak memberi petunjuk kepada orang-orang yang zalim.”

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini